Aku bekerja di perusahaan
kontraktor swasta di daerah Indramayu yang mempunyai sekitar 20 pegawai dan 3
orang diantaranya adalah wanita. Pada umumnya pegawai-pegawai itu datang dari
desa sekitar perusahaan ini berada dan rata-rata pegawai prianya sudah bekerja
di perusahaan ini sekitar 15 tahunan lebih, sedangkan aku diperbantukan dari
kantor pusat di Jakarta dan baru sekitar 1 tahun di kantor cabang ini sebagai
kepala personalia merangkap kepala keuangan. Karena pindahan dari kantor pusat,
maka aku dapat tinggal di rumah yang disewa oleh perusahaan. Istriku tidak ikut
tinggal di sini, karena dia juga kerja di Jakarta, jadi kalau tidak aku yang ke
Jakarta setiap Jum'at sore dan kembali hari Minggu sore atau istriku yang
datang.
Hubungan antar para pekerja begitu akrab, sehingga beberapa diantara mereka ada yang sudah menganggap aku sebagai saudara atau anaknya saja. Dalam situasi seperti sekarang ini, perusahaan dimana aku bekerja juga mengalami krisis yang cukup serius dan jasa pekerjaan yang kami terima dari perusahaan kilang minyak dan perusahaan lainnya juga semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan pimpinanku memerintahkan untuk mengurangi beberapa orang pegawainya dan ini harus kulaksanakan dalam waktu sebulan ini. Setelah kupilah-pilah dari 20 orang pegawai itu, lalu aku mengambil 5 orang pegawai yang paling tua dan yang dalam 1 atau 2 tahun ini akan mencapai usia 55 tahun, lalu aku menyuruh sekretaris kantor yang bernama Sri (samaran) dan juga dari penduduk di sekitar perusahaan untuk mengetik draft surat-surat yang sudah kupersiapkan dan rencanaku dalam 2 minggu ini masing-masing pegawai akan kupanggil satu persatu untuk keberikan penjelasan sekaligus memberikan golden shake hand pesangon yang cukup besar. Sri adalah salah satu diantara 3 pekerja wanita di sini dan umur mereka bertiga sekitar 30 tahunan. Sri, menurut teman-teman kerjanya adalah seorang pegawai yang agak sombong, entah apa yang disombongkan atau mungkin karena merasa yang paling cantik diantara ke 2 wanita lainnya.
Padahal kalau aku bandingkan dengan pekerja wanita di kantor pusat Jakarta, belum ada apa-apanya. Suaminya Sri menurut mereka itu sudah setahun ini bekerja di Arab sebagai TKI. Di hari Jum'at sore, sewaktu aku besiap siap akan pulang, tiba-tiba muncul salah seorang pegawai yang biasa kupanggil Pak Tus datang menghadap ke ruangan kantorku.
Hubungan antar para pekerja begitu akrab, sehingga beberapa diantara mereka ada yang sudah menganggap aku sebagai saudara atau anaknya saja. Dalam situasi seperti sekarang ini, perusahaan dimana aku bekerja juga mengalami krisis yang cukup serius dan jasa pekerjaan yang kami terima dari perusahaan kilang minyak dan perusahaan lainnya juga semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan pimpinanku memerintahkan untuk mengurangi beberapa orang pegawainya dan ini harus kulaksanakan dalam waktu sebulan ini. Setelah kupilah-pilah dari 20 orang pegawai itu, lalu aku mengambil 5 orang pegawai yang paling tua dan yang dalam 1 atau 2 tahun ini akan mencapai usia 55 tahun, lalu aku menyuruh sekretaris kantor yang bernama Sri (samaran) dan juga dari penduduk di sekitar perusahaan untuk mengetik draft surat-surat yang sudah kupersiapkan dan rencanaku dalam 2 minggu ini masing-masing pegawai akan kupanggil satu persatu untuk keberikan penjelasan sekaligus memberikan golden shake hand pesangon yang cukup besar. Sri adalah salah satu diantara 3 pekerja wanita di sini dan umur mereka bertiga sekitar 30 tahunan. Sri, menurut teman-teman kerjanya adalah seorang pegawai yang agak sombong, entah apa yang disombongkan atau mungkin karena merasa yang paling cantik diantara ke 2 wanita lainnya.
Padahal kalau aku bandingkan dengan pekerja wanita di kantor pusat Jakarta, belum ada apa-apanya. Suaminya Sri menurut mereka itu sudah setahun ini bekerja di Arab sebagai TKI. Di hari Jum'at sore, sewaktu aku besiap siap akan pulang, tiba-tiba muncul salah seorang pegawai yang biasa kupanggil Pak Tus datang menghadap ke ruangan kantorku.
"Ada apa Pak
Tus", tanyaku.
"Ini..., Pak...,
kalau Bapak ada waktu, besok saya ingin mengajak Bapak untuk melihat kebun
buah-buahan di daerah pegunungan sekitar Kuningan dan peninggalan orang tua
saya, siapa tahu Bapak tertarik untuk membelinya". Setelah kipikir sejenak
dan sekaligus untuk menyenangkan hatinya karena Pak Tus ini adalah salah satu
dari pegawai yang akan terkena PHK, segera saja permintaannya kusetujui.
"Oke..., Pak Tus,
boleh deh, kebetulan saya tidak punya acara di hari Sabtu dan Minggu ini...,
kita pulang hari atau nginap Pak...?”
"Kalau Bapak nggak
keberatan..., kita nginap semalam di gubuk kami..., Pak.., dan kalau Bapak
tidak berkeberatan, saya akan membawa Istri, anak dan cucu saya, Biar agak
ramai sekaligus untuk masak.., karena tempatnya agak jauh dari warung",
jawab Pak Tus dengan wajah berseri.
"Yapi..., Pak...,
saya tidak punya kendaraan.., lanjut Pak Tus dengan wajah agak sedih".
"Pak..., Tus..., soal
kendaraan jangan terlalu di pikir, kita pakai Kijang saya saja.., dan Pak Tus
boleh membawa semua keluarganya, asal mau berdesak-desakan di Kijang dan besok
jam 10 pagi akan saya jemput ke rumah Pak Tus", sahutku dan Pak Tus dengan
wajah berseri kembali lalu mengucapkan terima kasih dan pamit untuk pulang.
Besok paginya sekitar jam 10 pagi aku menjemput ke rumah Pak Tus yang boleh dibilang rumah sangat sederhana. Di depan rumahnya aku disambut oleh Pak Tus dan Istrinya. Aku agak terkejut, karena Isrinya kelihatan jauh lebih muda dari yang kuduga. Dia kutaksir berumur sekitar 35 tahunan dan walau tinggal di kampung tapi sepertinya tidak ketinggalan jaman. Istri Pak Tus mengenakan rok dan baju agak ketat tanpa lengan serta ukuran dadanya sekitar 36C.
Besok paginya sekitar jam 10 pagi aku menjemput ke rumah Pak Tus yang boleh dibilang rumah sangat sederhana. Di depan rumahnya aku disambut oleh Pak Tus dan Istrinya. Aku agak terkejut, karena Isrinya kelihatan jauh lebih muda dari yang kuduga. Dia kutaksir berumur sekitar 35 tahunan dan walau tinggal di kampung tapi sepertinya tidak ketinggalan jaman. Istri Pak Tus mengenakan rok dan baju agak ketat tanpa lengan serta ukuran dadanya sekitar 36C.
"silakan masuk...,
Pak...", katanya hampir serentak,
"Ma'af Pak...,
rumahnya jelek", sambung Pak Tus.
"Ah, Bapak dan Ibu..,
bisa saja, Oh iya..., anak dan cucu nya apa jadi ikut?", sahutku sambil
bertanya karena aku tidak melihat mereka.
"Oh..., si Aminah
(mana disamarkan) sedang di belakang menyiapkan barang-barang bawaannya dan
cucu saya tidak mau pisah dari ibunya", sahut Pak Tus. Tidak lama kemudian
dari belakang muncul wanita muda yang tidak bisa dibilang jelek dengan tinggi
sekitar 160 Cm serta memakai T shirt ketat sedang menggendong anak laki-laki
dan tangan satunya menjinjing tas agak besar, mungkin berisi pakaian.
"Pak..", kata
Pak Tus, yang membuatku agak kaget karena aku sempat terpesona dengan body
Aminah yang yang aduhai serta berjalan dengan dada yang menantang walau ukuran
dadanya boleh dibilang tidak besar.
"Paak..., ini
kenalkan anak perempuan saya..., Aminah dan ini cucu saya Dodi". Kusambut
uluran tangan Aminah serta kujabat tangannya yang terasa agak dingin dan
setelah itu kucubit pipi Dodi.
"Ayo...,
Pak...", ajak Pak Tus,
"Kita semua sudah
siap dan bisa berangkat sekarang".
"Lho..., apa bapaknya
Dodi tidak ikut..., Pak?,” tanyaku dan kulihat Pak Tus saling berpandangan
dengan Istrinya, tapi yang menyahut malah Aminah.
"Enggak kok...,
Pak..., dia lagi pergi jauh".
"Ayo..., lah kalau
begitu..., kita bisa berangkat sekarang.., Pak", kataku walau aku masih
ada tanda tanya besar dalam hatiku soal suami Aminah.
Sesampainya tempat yang dituju, aku jadi terkagum-kagum dengan kebun yang dimiliki Pak Tus yang cukup luas dan tertata rapi serta seluruhnya ditanami pohon buah-buahan, bahkan banyak yang sedang berbuah. Rumah yang boleh dibilang tidak besar, terletak di bagian belakang kebun itu. .
Sesampainya tempat yang dituju, aku jadi terkagum-kagum dengan kebun yang dimiliki Pak Tus yang cukup luas dan tertata rapi serta seluruhnya ditanami pohon buah-buahan, bahkan banyak yang sedang berbuah. Rumah yang boleh dibilang tidak besar, terletak di bagian belakang kebun itu. .
"Ayo..., Pak, kita
beristirahat dulu di gubuk, nanti setelah itu kita bisa keliling kebun melihat
pohon-pohon yang ada", kata bu Tus dan disambut dengan sahutan Pak Tus.
"Iyaa..., Pak...,
silakan istirahat ke rumah dulu, biar Istri saya menyiapkan minum buat Bapak,
sedang saya mau ketemu dengan yang menjaga kebun ini.” Lalu aku dan Bu Tus
berjalan beriringan menuju rumahnya dan sepanjang perjalanan menuju rumah
kupuji kalau kebunnya cukup luas serta terawat sangat baik.
"Aahh..., Bapak...,
jangan terlalu memuji..., kebun begini.., kok dibilang bagus.., tapi inilah
kekayaan kami satu-satunya dan peninggalan mertua", kata bu Tus yang
selalu murah senyum itu. Ketika mendekati rumah, Bu Tus lalu berkata,
"silakan Pak...,
masuk", dan aku segera katakan,
"silakan..., sambil
bergeser sedikit untuk memberi jalan pada bu Tus.
Entah mengapa, kami berdua berjalan bersama masuk pintu rumah sehingga secara tidak sengaja tangan kiriku telah menyenggol bagian dada bu Tus yang menonjol dan kurasakan empuk sekali. Sambil kupandangi wajah bu Tus yang kelihatan memerah, segera kukatakan.
Entah mengapa, kami berdua berjalan bersama masuk pintu rumah sehingga secara tidak sengaja tangan kiriku telah menyenggol bagian dada bu Tus yang menonjol dan kurasakan empuk sekali. Sambil kupandangi wajah bu Tus yang kelihatan memerah, segera kukatakan.
"Maaf..., bu..., saya
tidak sengaja", Bu Tus tidak segera menjawab permintaan maafku, aku jadi
merasa agak nggak enak dan takut dia marah, sehingga kuulangi lagi.
"Benar..., buu...,
saya tidak sengaja...".
"Aahh.., Pak Pur..,
saya nggak apa apa kok..., hanya..., agak kaget saja, lupakan.., Pak..., cuma
gitu saja..., kok", kata bu Tus sambil tersenyum.
"Oh iya..., Bapak mau
minum apa", tanya bu Tus.
"Terserah Ibu saja
deh".
"Lhoo..., kok
terserah saya..?".
"Air putih juga boleh
kok bu".
Setelah bu Tus ke
belakang, aku lalu duduk di ruang tamu sambil memperhatikan ruangan nya model
rumah kuno tetapi terawat dengan baik. Tidak terlalu lama, kulihat bu Tus yang
telah mengganti bajunya dengan baju terusan seperti baju untuk tidur yang
longgar berjalan dari belakang sambil membawa baki berisi segelas teh dan
sesampainya di meja tamu dimana aku duduk, bu Tus meletakkan gelas minuman
untukku sambil sedikit membungkuk, sehingga dengan jelas terlihat dua gundukan
besar yang menggantung didadanya yang tertutup BH dan bagian dalam badannya,
membuat mataku sedikit melotot memperhatikannya.
"Iihh..., matanya Pak
Puur..., kok..., nakal.., yaa", katanya sambil menyapukan tangannya
dimukaku serta tersenyum.
Aku jadi agak malu dikatakan
begitu dan untuk menutupi rasa maluku, aku jawab saja sambil agak bergurau.
"Habiis..., bu Tus
berdirinya begitu..., sih. “
"Aahh..., bapak
ini..., kok sepertinya..., belum pernah melihat seperti itu saja", sahut
bu Tus yang masih berdiri di dekatku dan mencubit tanganku.
"Betul kok...,
buu..., saya belum pernah melihat yang seperti itu, jadi boleh kan buu..., saya
lihat lagi..?".
"aahh...,
bapak..", kembali mencubitku tetapi sekarang di pipiku sambil terus
berjalan ke belakang.
Setelah minuman kuhabiskan, aku lalu balik keluar menuju ke kebun dan ngobrol dengan pak Tus yang sedang membersihkan daun-daun yang berserakan. Selang berapa lama, kulihat bu Tus datang dari dalam rumah sambil membawa gulungan tikar dan setelah dekat lalu menggelar tikarnya di kebun sambil berkata kepada suaminya. "Paak..., kita ajak Pak Pur makan siang disini saja..., yaa", dan pak Tus tidak menjawab pertanyaan istrinya tetapi bertanya kepadaku.
Setelah minuman kuhabiskan, aku lalu balik keluar menuju ke kebun dan ngobrol dengan pak Tus yang sedang membersihkan daun-daun yang berserakan. Selang berapa lama, kulihat bu Tus datang dari dalam rumah sambil membawa gulungan tikar dan setelah dekat lalu menggelar tikarnya di kebun sambil berkata kepada suaminya. "Paak..., kita ajak Pak Pur makan siang disini saja..., yaa", dan pak Tus tidak menjawab pertanyaan istrinya tetapi bertanya kepadaku.
"Nggak...,
apa-apa..., kan.., paak.., makan di kebun..? Biar tambah nikmat".
"Nggak apa apa kok..,
paak", jawabku.
Tidak lama kemudian dari
arah rumah tetangganya, kulihat Aminah yang sudah mengganti bajunya dengan baju
terusan yang longgar seperti ibunya datang membawa makanan dan sambil
membungkuk meletakkan makanan itu di tikar dan aku yang sedang duduk di tikar
itu kembali melihat buah yang menggantung di dada, dan sekarang dadanya Aminah.
Kelihatan sekali kalau Aminah tidak mengenakan BH dan ukurannya tidak besar.
Aminah tidak sadar kalau aku sedang memperhatikan buah dadanya dari celah
bajunya pada saat menaruh dan menyusun makanan di tikar. Setelah Aminah pergi,
sekarang datang Ibunya sambil membawa makanan lainnya dan ketika dia membungkuk
menaruh makanan, kembali aku disungguhi pemandangan yang sama dan sekarang agak
lama karena makanan yang disusun oleh Aminah, disusun kembali oleh bu Tus.
Tidak kuduga, tiba-tiba bu Tus sambil tetap menyusun makanan lalu berkata agak
berbisik, mungkin takut didengar oleh suaminya yang tetap masih bekerja
membersihkan daun-daun tidak jauh dari tempatku duduk.
"Paak..., sudah puas
melihatnyaa..?" . Lalu kudekatkan wajahku sambil membantu menyusun makanan
dan kukatakan pelan,
"Beluum..., buu...,
saya kepingin memegangnya dan menghisapnyaa". Bu Tus langsung mencubitkan
tangannya di pahaku sambil berkata pelan,
"Awas..., yaa...,
nanti saya gigit punya bapak.., baru tahu", sambil terus berjalan.
Sekarang muncul lagi Aminah dan kembali meletakkan makanan sambil membungkuk dan kembali terlihat buah dadanya dan kepingin rasanya kupegang. Rupanya Aminah tahu kalau aku sedang memperhatikan dadanya, lalu dia berbisik.
Sekarang muncul lagi Aminah dan kembali meletakkan makanan sambil membungkuk dan kembali terlihat buah dadanya dan kepingin rasanya kupegang. Rupanya Aminah tahu kalau aku sedang memperhatikan dadanya, lalu dia berbisik.
"Paakk..., matanya
kok nakal..., yaa...", tapi tanpa menutupnya dan langsung saja kujawab,
"aam..., habis bagus
siih..., pingin pegang...,boleh apa nggak?", Aminah hanya tersenyum sambil
mencubit tanganku lalu pergi. Setelah itu kami berempat makan di tikar dan
nikmat sekali rasanya makan di kebun dan setelah selesai makan, Aminah pamit
untuk memberi makan anaknya di rumah bibinya. Ketika kutanyakan ke Pak Tus,
kemana suaminya Aminah segera Pak Tus menceritakan keluarganya., bahwa Istri
Pak Tus ini adalah adik kandung dari Istri pertamanya yang sudah meninggal dan
Aminah adalah anak satu-satunya dari istri pertamanya. Sedang Aminah sudah
bercerai dari suaminya pada saat Aminah hamil, suaminya meninggalkan begitu
saja karena kawin dengan wanita lain. Tidak terasa kami ngobrol di kebun cukup
lama dan mungkin karena hawanya agak dingin dan anginnya agak keras, aku merasa
seperti sedang masuk angin.
Sementara Pak Tus dan istrinya membereskan
sisa makan siang, aku memukul-mukul perutku untuk membuktikan apa benar aku
sedang masuk angin dan ternyata benar. Perbuatanku memukul perut rupanya
diketahui oleh Pak Tus dan istrinya.
"Kenapa paak..",
tanya mereka hampir serentak.
"Nggak apa apa
kok..., cuman masuk angin sedikit".
"Paak..., masuk angin
kok..., dibilang nggak apa apa..", jawab Pak Tus
"Apa bapak biasa
dikerokin", lanjutnya.
"Suka juga sih
paak", jawabku.
"Buu..., biar saya
yang beresin ini semua..., itu tolong kerokin dan pijetin Pak Puur, biar masuk
anginnya hilang", kata Pak Tus.
"Oh..., iya..,
Buu", lanjut Pak Tus,
"Habis ini saya mau
mancing ikan di kali belakang, siapa tahu dapat ikan untuk makan malam
nanti...".
"Pak Tuus..., nanti
kalau masuk angin saya hilang, saya mau ikut mancing juga", kataku.
"Ayoo..., pak
Puurr.., kita ke rumah..., biar saya kerokin di sana..., kalau di sini nanti
malah bisa sakit beneran. Sesampainya di dalam rumah lalu bu Tus berkata,
"Paak..., silakan
bapak ke kamar sini saja", sambil menunjuk salah satu kamar, dan
"Saya ke belakang sebentar untuk mengambil uang untuk kerokannya".
Tidak lama kemudian bu Tus muncul ke dalam kamar dan menutup pintunya dan
menguncinya.
"Paak..., kerokannya
di tempat tidur saja yaa..., dan tolong buka kaosnya". Setelah beberapa
tempat di punggungku dikerokin, bu Tus berkomentar.
"Paakk..., rupanya
bapak masuk angin beneran..., sampai merah semua badan bapak".
Setelah hampir seluruh punggungku dikerokin dan dipijitin, lalu bu Tus memintaku untuk tidur telentang.
Setelah hampir seluruh punggungku dikerokin dan dipijitin, lalu bu Tus memintaku untuk tidur telentang.
"Paak..., sekarang
tiduran telentang..., deh..., biar bisa saya pijitin agar angin yang di dada
dan perut bisa keluar juga.”
Kuturuti permintaannya dan
bu Tus naik ke tempat tidur di samping kiriku dan mulai memijit kedua bahuku.
Dengan posisi memijit seperti ini, tentu saja kedua payudara bu Tus terlihat
sangat jelas dan bahkan seringkali menyentuh wajahku sehingga mau tak mau
membuat penisku menjadi tegang. Karena sudah tidak kuat menahan diri,
kuberanikan untuk memegang kedua payudaranya dan bu Tus hanya berkata pelan.
"Jangaan..., paak...,”
sambil tetap memijit bahuku.
"Kenapa buu...",
tanyaku sambil melepas pegangan di payudaranya.
"Nggak..., apa apa
kok..., paak", jawabnya pelan sambil tersenyum. Karena tidak ada kata-kata
lainnya, maka kuberanikan lagi untuk menyelusupkan tangan kiriku ke dalam
bajunya bagian bawah serta kupegang vaginanya dan kembali terdengar suara bu
Tus.
"Paakk..., sshh...,
jangaan..., aahh...", dan badannya dijatuhkan ke badanku serta bibirnya
bertemu dengan bibirku
Dengan tidak sabar, lalu kuangkat rok
terusannya ke atas dan kulepaskan dari kepalanya sehingga badannya telanjang
hanya tertutup oleh BH dan CD saja, lalu segera badannya kubalik sehingga aku
sekarang ada di atas badannya dan segera kaitan BH-nya kulepas sehingga
tersembul buah dadanya yang besar. Kujilati dan kuhisap kedua payudaranya
bergantian dan bu Tus hanya berdesah pelan.
"sshh..., aahh...,
paak..., sshh...,” dan tangan kiriku kugunakan untuk melepas CD-nya dan
kumasukkan jariku diantara belahan vaginanya yang sudah basah dan ini mungkin
membuat bu Tus semakin keenakan dan terus mendesah.
"sshh..., aduuhh...,
paakk..., sshh..., aahh".
Sambil tetap Kujilati payudaranya, sekarang
kugunakan tanganku untuk melepas celana panjang dan CD-ku dan setelah berhasil,
kembali kugunakan jari tanganku untuk mempermainkan vaginanya dan kembali
kudengar desahannya.
"sshh..., aahh...,
paak..., sshh..., ayoo.., paak", dan kurasakan bu Tus telah membukakan
kedua kakinya agak lebar. Walau tidak bilang kurasa bu Tus sudah tidak tahan
lagi, maka segera saja kuarahkan penisku ke arah vaginanya dan kedua tangannya
telah melingkar erat di punggungku. Belum sempat aku siap-siap,
"Bleess...", penisku masuk ke dalam vaginanya akibat bu Tus menekan
kuat-kuat punggungku dan bu Tus berteriak agak keras,
"aahh..",
sehingga terpaksa mulutnya segera kusumpal dengan bibirku agar teriakannya
tidak terdengar sampai keluar kamar. Sambil kujilati payudaranya, aku
menggerakkan pantatku naik turun sehingga penisku keluar masuk vaginanya dan
menimbulkan bunyi. "prreett..., prreett..., prreett", dan dari mulut bu Tus terdengar desahan yang agak keras,
"Aahh..., sshh...,
paak..., aahh..", dan tidak lama kemudian bu Tus semakin cepat
menggerakkan pinggulnya dan tiba-tiba kedua kakinya dilingkarkan kuat-kuat di
punggungku sehingga mempersulit gerakan keluar masuk penisku dan terdengar
suaranya yang agak keras,
"aaduuhh.., sshh...,
aahh..., aaduuhh..., paakk..., aarrhh..,” sambil menekan kuat-kuat badanku lalu
bu Tus terdiam, dengan nafas yang cepat.
Untuk sementara, kudiamkan dulu sambil
menunggu nafas bu Tus agak normal kembali dan tidak lama kemudian, sambil
menciumi wajahku, bu Tus berkata.
"Paakk..., sudah
lamaa..., saya..., tidak pernah seperti ini..., terima kasih..., paak".
Setelah nafasnya kembali normal dan penisku masih tetap di dalam vaginanya,
lalu kuminta bu Tus untuk menungging.
"Paak..., saya belum
pernah seperti itu", katanya pelan.
"Nggak apa-apa kok
buu..., nanti juga bisa", kataku sambil mencabut penisku dari vaginanya
yang sangat basah. Kubalik badannya dan kuatur kakinya sehingga posisinya
nungging, bu Tus hanya mengikuti kemauanku dan menaruh kepalanya di bantal. Lalu
kudekatkan wajahku di dekat vaginanya dan kujulurkan lidahku ke dalam lubang
vaginanya dan kupermainkan, sambil kupegang kedua bibir vaginanya, bu Tus hanya
menggerakkan pantatnya pelan-pelan. Tetapi setelah bu Tus memalingkan kepalanya
dan menengok ke arah bawah serta tahu apa yang kuperbuat, tiba-tiba bu Tus
menjatuhkan badannya serta berkata agak keras,
"Paakk...,
jangaan", sambil berusaha menarik badanku ke atas.
Terpaksa kudekati dia dan
sambil kucium bibirnya yang mula-mula ditolaknya, lalu kutanya,
"Kenapa..., buu..?”
"Paakk...,
jangaan..., itu kan kotoor..", Sambil agak berbisik, segera kutanyakan.
"Buu..., apa ibu
belum pernah..., dijilati seperti tadi..?".
"Beluum.., pernah
paak..", katanya.
"Buu..., nggak
apa-apa.., kok..., coba deh..., pasti nanti ibu akan nikmat..", sambil
kutelentangkan dan kutelisuri badannya dengan jilatan lidahku. Sesampainya di
vaginanya, kulihat tangan bu Tus digunakan untuk menutupi vaginanya, tapi
dengan pelan-pelan berhasil kupindahkan tangannya dan segera kuhisap
clitorisnyanya yang membuat bu Tus menggelinjang dan mendesah.
"Paakk...,
jangaann..., aahh..., aduuhh", tapi kedua tangannya malah diremaskan di
kepalaku dan menekannya ke vaginanya. Kelihatannya bu Tus sudah tahu nikmat
vaginanya dihisap dan dijilati, sehingga sekarang semakin sering kepalaku
ditekan ke vaginanya disertai desahan-desahan halus,
"aahh..., sshh...,
aahh..., aaccrrhh", seraya menggerak-gerakkan pinggulnya.
Jilatan serta hisapanku ke seluruh vagina bu Tus membuat gerakan pinggulnya semakin cepat dan remasan tangannya di rambutku semakin kuat dan tidak lama kemudian, lagi-lagi kedua kakinya dilingkarkan ke bahuku dan menjepitnya kuat-kuat disertai dengan desahan yang cukup keras
Jilatan serta hisapanku ke seluruh vagina bu Tus membuat gerakan pinggulnya semakin cepat dan remasan tangannya di rambutku semakin kuat dan tidak lama kemudian, lagi-lagi kedua kakinya dilingkarkan ke bahuku dan menjepitnya kuat-kuat disertai dengan desahan yang cukup keras
"aahh..., aaduuh...,
sshh..., aaccrrhh..., paakk..., adduuhh..., aacrrhh. Kulihat bu Tus terdiam
lagi dengan nafasnya yang terengah-engah sambil mencoba menarik badanku ke atas
dan kuikuti tarikannya itu, sesampainya kepalaku di dekat kepalanya, bu Tus
sambil masih terengah-engah mengatakan, .
"Paakk..., enaak...,
sekalii..., paak..,. terima kasiih..". Pernyataannya itu tidak kutangapi
tetapi aku berusaha memasukkan penisku ke dalam vaginanya, dan karena kakinya
masih terbuka, maka penisku yang masih sangat tegang itu dapat masuk dengan
mudah. Karena nafas bu Tus masih belum normal kembali, aku hanya menciumi
wajahnya dan diam menunggu tanpa menggerakkan pinggulku, tetapi dalam keadaan
diam seperti ini, terasa sekali penisku terhisap keras oleh vaginanya dan
terasa sangat nikmat dan kubilang,
"Buu..., ituu...,
Buu..., enaakk..., laggii..., buu", dan mungkin ingin membuatku keenakan,
kurasakan sedotannya semakin keras saja dan,
"Buu..., teruuss...,
buu..., enaakk.., aaduuh". Setelah nafasnya kembali normal, lalu kuangkat
kedua kaki bu Tus dan kutempatkan di atas bahuku dan bu Tus hanya diam saja
mengikuti kemauanku.
Dengan posisi begini, terasa penisku semakin dalam menusuk ke vaginanya dan ketika penisku kuhentakkan keluar masuk vaginanya, bu Tus kembali berdesah,
Dengan posisi begini, terasa penisku semakin dalam menusuk ke vaginanya dan ketika penisku kuhentakkan keluar masuk vaginanya, bu Tus kembali berdesah,
"Aahh..., Paakk...,
enaakk..., Paakk..., aahh..., sshh", dan akupun yang sudah hampir
mendekati klimaks ikut berdesah,
"aahh..., sshh...,
aaccrrhh..., Buu.., aahh", sambil mempercepat gerakan penisku keluar masuk
vaginanya dan ketika aku sudah tidak dapat menahan air maniku segera saja
kukatakan,
"Buu..., Buu...,
saayaa..., sudah mau keluar..., aahh..., taahaan..., yaa..., Buu..", dan
bu Tus sambil memelukku kuat-kuat, menganggapinya dengan mengatakan,
"Paakk..., ayoo...,
cepaatt..., Paakk...", dan kutekan penisku kuat-kuat menusuk vaginanya
sambil berteriak agak keras,
"aahh..., aacrrhh...,
bbuu..., aahh..", Aku sudah tidak memperhatikan lagi apa yang diteriakkan
bu Tus dan yang aku dengar dengan nafasnya yang terengah-engah bu Tus menciumi
wajahku sambil berkata,
"Teriimaa...,
kasiih..., paakk..., saayyaa..., capeek..., sekali.., paakk". Setelah
istirahat sebentar dan nafas kami kembali agak normal, bu Tus mengambil CD-nya
dan dibersihkannya penisku dengan hati-hati. Aku segera mengenakan pakaianku
dan keluar menuju sungai untuk menemani pak Tus memancing.
"Sudah dapat berapa
Paak ikannya..", tanyaku setelah dekat.
"ooh..., bapaak...,
sudah tidak masuk angin lagi..., paak..?", dan lanjutnya,
"Lumayan paak..,
sudah dapat beberapa ekor dan bisa kita bakar nanti malam.”
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar