Menjadi seorang janda bukan berarti
sudah tidak menginginkan sex lagi. Itu salah. Buktinya, Marwah masih
saja menginginkannya, apalagi sudah lama ia tidak mendapatkannya.
Memeknya jadi gatal, tapi ia harus sekuat tenaga menahannya. Sebagai
seorang wanita yang baik, ia tidak boleh terlalu vulgar mengumbar nafsu
birahinya.
Di desa, Marwah memelihara ayam. Dia
juga mempunyai sebuah kolam ikan peninggalan almarhum suaminya serta
beberepa petak sawah dan sedikit ladang kering. Sehari-hari ia sibuk
mengurusnya, lumayan untuk sedikit mengalihkan perhatiannya.
Sehari-hari, ia akrab dengan seorang
anak pengangon kambing yang sesekali suka mengusilinya. Namanya Adi,
usianya baru 15 tahun. Selain usil, Adi juga suka bicara seenaknya.
Mulanya Marwah risih juga mendengar perkataannya yang tak senonoh itu.
Tapi setelah memperhatikan, ternyata anak itu hanya berkata jorok bila
mereka berdua saja, dan semua kata-katanya tidak sampai terdengar
keluar. Hanya mereka berdua yang tahu. Itu membuat Marwah yakin kalau
Adi adalah anak yang pintar menjaga rahasia.
Sampai akhirnya, terjadilah peristiwa itu…
Hari sudah beranjak sore ketika Marwah
berniat untuk mandi. Itu adalah rutinitasnya seperti biasa, tapi entah
mengapa, sore itu ia merasa tidak enak hati, seperti ada yang membuatnya
deg-degan. Perasaannya jadi tidak menentu, naluri kewanitaannya
mengatakan bakal ada sesuatu yang terjadi. Entah itu baik ataupun buruk.
Dan benar saja, saat mau menyirami tubuh
telanjangnya yang sudah disabuni, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sepasang
mata yang mengintip penasaran dari balik dinding gedek. Seperti umumnya
kamar mandi di desa, kamar mandi Marwah juga cuma ditutup gedeg atau
anyaman bambu sebagai sekatnya. Siapapun yang berniat mengintip akan
dengan mudah melihat dari celah dinding bambu. Dan sore ini, Adi
melakukannya. Ya, Marwah sangat hafal sekali, itu adalah sepasang mata
milik si bocah.
”Adi, ngapain kamu?!” tanya Marwah dari dalam.
“Ya, ini aku, Budhe…” jawab Adi enteng
tanpa merasa bersalah sedikitpun. Ia malah tersenyum lebar karena sudah
berhasil mengintip tubuh montok Marwah yang sehari-hari tertutup jubah
panjang dan jilbab lebar. Memang, tidak semua orang bisa seberuntung
dirinya saat ini.
Dalam hati, Marwah membatin, ”Nakal
sekali anak ini, harus aku kasih pelajaran!” Dan pelajaran yang cocok
untuk anak semacam Adi adalah… Marwah akan membiarkan bocah kecil itu
terus mengintip tubuhnya! Rasain, biar saja dia jadi puyeng karena
melihat seluruh tubuhnya. Marwah tidak peduli. Salah sendiri jadi anak
kok nakal banget.
Pura-pura tidak terjadi apa-apa, Marwah
meneruskan acara mandinya. Sambil mengguyur tubuh montoknya yang masih
penuh busa sabun, ia sedikit meliuk-liukkan tubuhnya, memamerkan bokong
dan payudaranya yang bulat montok pada Adi. Tersenyum dalam hati, Marwah
memperhatikan betapa Adi terdiam dan terkagum-kagum memandanginya.
Bocah itu melotot dengan air liur hampir menetes keluar.
Jangankan Adi yang baru beranjak gede,
orang-orang di pasar saja suka usil bila melihat Marwah. Mereka suka
mencolek dan menggodanya kala Marwah menjual telur bebek ke salah satu
kios langganannya. Dengan kemolekan tubuhnya, Marwah dengan cepat
menjadi idola para pedagang telur di pasar inpres. Tapi untunglah,
dengan dandanannya yang alim dan sopan, sampai saat ini belum ada yang
berani berbuat macam-macam kepada dirinya. Dan Marwah berharap, semoga
selamanya juga tidak ada. Dia ingin menjalani hidupnya di desa ini
dengan tenang. Marwah tidak ingin mencari masalah.
Setelah tubuhnya bersih, Marwah
mengambil handuk yang ada di cantolan baju. Pelan dia mengusap sisa-sisa
air yang masih menempel di tubuh montoknya. Diperhatikannya Adi yang
masih tetap setia mengintip dari celah dinding. Marwah tersenyum, ia
berniat untuk unjuk diri sekali lagi. Entah kenapa, menghadapi Adi yang
usil, sisi liar Marwah jadi bergejolak seperti ini. Padahal biasanya ia
cukup teliti menjaga aurat, buktinya ia selalu mengenakan baju panjang
dan jilbab kalau keluar rumah. Marwah tidak ingin ada yang menikmati
lekuk tubuh montoknya secara gratis.
Menghadap persis ke arah Adi, Marwah
mulai beraksi. Sedikit membusungkan dada, ia mulai meremas-remas kedua
bukit kembarnya berulang kali, membuat benda yang masih kelihatan padat
meski sudah digunakan menyusui 3 orang bayi itu semakin terlihat indah.
Marwah juga memilin-milin putingnya yang mungil kecoklatan, yang
kelihatan sangat kontras dengan kulit tubuhnya yang putih mulus. Tak
berhenti sampai di situ, tangan Marwah turun ke bawah dan mulai
mengusap-usap bibir vaginanya. Dia mencolokkan dua jarinya ke dalam dan
mulai mengocoknya dengan begitu lembut. Di luar, Adi menegang dan
terpana saat melihat Marwah yang mulai bermasturbasi di depan matanya.
Adegan itu terus berlangsung selama
beberapa menit sampai akhirnya Marwah menjerit keenakan tak lama
kemudian. Dari memeknya memancar air bening yang amat deras. Adi tak
berkedip memandanginya, bahkan ia terlihat semakin menempelkan matanya
di dinding kamar mandi agar bisa melihat lebih jelas lagi.
Terengah-engah penuh kepuasan, Marwah
mengguyur tubuhnya. Ia mandi sekali lagi. Dilihatnya Adi masih setia
mengintip apapun yang ia lakukan. Marwah segera menegurnya. ”Sudah, Di.
Sudah tidak ada yang bisa dilihat.” katanya begitu acara mandi sore itu
selesai.
Tidak mendengar jawaban, Marwah menebak
kalau Adi sudah pergi. Hari sudah mulai gelap hingga ia tidak bisa
melihat ke antara celah dinding kamar mandi. Marwah segera mengenakan
baju panjangnya kembali dan berjalan keluar menuju rumah.
***
Hari masih pagi ketika Marwah pergi ke
sawah untuk melihat bebek-bebeknya. Saat itu dia membawa beberapa buah
singkong goreng sebagai bekal. Setelah memastikan bebeknya tidak ada
yang hilang dan selesai memberi makan mereka, Marwah pergi ke gubuk di
tengah sawah untuk beristirahat. Saat sedang asyik memakan bekalnya,
dilihatnya Adi datang mendekat. ”Hmm, mau apa bocah nakal itu sekarang?”
batin Marwah dalam hati. Dilihat dari cengirannya yang usil, sepertinya
Adi tidak merasa bersalah dengan peristiwa kemarin.
”Pagi, Budhe… habis ngasih makan bebek ya?” tanyanya.
”Iya,” Marwah mengangguk. ”Mana
kambingmu?” ia bertanya. Tidak biasanya Adi pergi sendirian ke sawah
tanpa dibuntuti kambing-kambingnya.
”Sudah dibawa bapak ke bukit sana,” Adi menunjuk bukit kecil yang ada di sebelah kiri mereka.
”Kemarin kamu mengintip Budhe ya, kenapa?” tanya Marwah saat Adi sudah duduk di sebelahnya.
”Adi suka nglihat tetek Budhe yang gede,” jawab Adi enteng.
Marwah memperhatikan payudaranya. Memang
benar, meski tertutup baju panjang dan jilbab lebar, benda itu terlihat
sangat bulat dan menggiurkan. Anak sekecil Adi aja tahu kalau tetek
Marwah begitu montok dan besar. Bocah itu tidak salah. ”Selain tetek
Budhe, kamu mau lihat apa lagi?” pancing Marwah, entah kenapa dia jadi
bertanya seperti ini.
“Ya… apalagi kalau bukan tempeknya Budhe,” kata Adi seenaknya. Yang dimaksud dengan tempek adalah kemaluan wanita, alias vagina.
“Kamu masih kecil, tapi sudah gatal,”
Marwah nyeletuk. Meski tahu kalau Adi sedikit nakal, dia tetap sayang
kepada bocah itu karena Adi suka membantunya kalau Marwah lagi sibuk di
sawah sendirian. Semua penduduk desa tahu kalau mereka sangat dekat dan
akrab. Tapi tak seorang yang tahu kalau Adi suka ngomong jorok dan
seenaknya.
”Tempek Budhe kemarin gatal ya, kok sampe digaruk segala?” tanya Adi mengenai masturbasi Marwah.
Marwah tersenyum lebar, ”Bukan gatal, Budhe cuma pengen kencing aja.” dia mengarang alasan.
”Perasaan, kalau ibuku kencing nggak sampai seperti itu deh,” sahut Adi.
”Kamu pernah melihat ibumu kencing?” tanya Marwah tak percaya, benar-benar sudah kelewatan bocah satu ini.
”Nggak ngeliat langsung, cuman nggak sengaja saat ibu jongkok di kebun belakang.” jelas Adi.
”Dasar kamu ya,” Marwah mengacak-acak
rambut bocah itu. ”Eh, kalau ngintip ibumu mandi mandi, pernah nggak?”
tanya Marwah, tiba-tiba saja terlintas pikiran itu di otaknya yang
tertutup jilbab.
Adi mengangguk. ”Iya, pernah.”
“Gimana tetek ibumu, gede kan?” tanya
Marwah penasaran. Dia memang pernah sekali melihat ibu Adi sedang mandi
di sungai, dan menurutnya tubuh perempuan itu cukup menarik juga meski
wajahnya tidak cantik-cantik amat.
Adi terdiam membayangkan, ”Lumayan sih, tapi tetep lebih gede punya Budhe,” jawabnya sesaat kemudian.
Marwah tertawa mendengarnya. ”Itu karena
usia ibumu sudah tua, jadi teteknya kendor. Coba kalau seusia Budhe,
pasti ukurannya bakal sama.”
Adi menggeleng, ”Nggak, masih lebih bagus punya Budhe.”
Marwah tertawa lagi. “Trus, emang kenapa kalau lebih bagus punya Budhe? Kamu mau ngapain?” tantangnya.
Adi tersipu malu, ”Ya nggak apa-apa sih. Adi cuma pingin pegang, pingin hisap, pingin remas-remas!” kata bocah itu sekenanya.
“Ah, kamu ini… dasar anak kecil!” Marwah kembali mengacak-acak rambut gondrong Adi.
“Kecil apanya? Nih Budhe lihat!” tanpa disangka oleh Marwah, Adi tiba-tiba berdiri dan memelorotkan celananya.
”Adi!” pekik Marwah saat melihat kontol
Adi yang sudah ngaceng keras. Walau bulunya masih sangat sedikit, tapi
benda itu tampak begitu mempesona. Bagi seorang wanita yang haus akan
sentuhan seperti Marwah, melihat kontol tepat di depan matanya seperti
sekarang, tak urung dengan cepat membuat darahnya berdesir. ”Gila. Anak
umur limabelas tahun, tapi kontolnya sudah mirip orang dewasa,” batin
Marwah dalam hati.
“Gimana, besar kan, Budhe?” tanya Adi bangga sambil semakin memamerkan penisnya.
“Ya, lumayan juga.” Marwah tak sanggup memalingkan mukanya dari benda coklat panjang itu.
”Kok cuma lumayan, ini kan sudah gede banget.” protes Adi tidak terima.
”Memang gede sih, tapi kan belum pernah dipakai. Mana bisa tahu kuat apa nggak?” pancing Marwah lebih nakal lagi.
“Dipakai buat ngentot ya, Budhe?” tanya Adi polos.
Marwah mengangguk mengiyakan. ”Iya, kamu sudah pernah ngentot belum? Aku yakin belum!” yakin Marwah.
Adi tersipu malu, “Aku kepingin ngentot, Budhe, tapi bagaimana?” tanyanya bingung.
”Bukan bagaimana, tapi sama siapa! Kalau soal cara ngentot sih, Budhe bisa ngajarin.” tawar Marwah.
Adi langsung menyeringai lebar mendengarnya, ”Ya betul! Kenapa nggak sama Budhe aja?” kata Adi ceplas-ceplos.
“Gila kamu! Ngajarin kan bisa lewat tulisan atau cerita, nggak perlu harus ngentot langsung.” kilah Marwah.
“Ayolah, Budhe. Masak cuma lewat tulisan, nggak seru dong!” kata Adi.
Marwah diam tidak menjawab. Dia tampak
berpikir keras. Sebagai seorang wanita berjilbab, ia tidak boleh
melakukannya. Tapi di sisi lain, hati kecilnya tidak bisa dibohongi.
Pembicaraan ini telah memancing gairahnya. Ditambah dengan kontol Adi
yang besar, yang terus tersaji indah di depannya, membuat Marwah jadi
sangat kesulitan untuk menentukan sikap.
Bebek-bebek terus bersuara di sekitar
mereka, terkadang berenang kian kemari di air sawah yang baru saja
dipanen. Binatang berkaki selaput itu berebutan memakan biji padi yang
masih banyak berserakan disana. Sisanya yang tidak kebagian mencocorkan
paruhnya ke pematang sawah, berharap mendapat cacing atau siput yang
sedang sial.
“Boleh ya, Budhe?” Adi mendesak semakin berani.
Marwah menghela nafas. Ia memandangi
bocah kecil itu dan tersenyum, “Benar kamu mau tahu?” tanyanya penasaran
dengan kemampuan Adi.
“Iya, Budhe. Aku pengen sekali ngentot. Apalagi dengan orang secantik Budhe, aku pingin sekali!!” seru Adi penuh semangat.
“Tapi kamu tidak boleh bercerita kepada siapapun juga. Sumpah?” kata Marwah serius.
“Sumpah, Budhe. Aku nggak bakal cerita sama siapapun.” Adi menganggukkan kepalanya.
Marwah tersenyum dan kembali
mengacak-acak rambut gondrong Adi. ”Sebentar ya,” dia melihat
sekeliling, memastikan kalau mereka aman. Gubuk itu berbentuk terbuka,
dengan anyaman bambu yang menutupi hingga sebatas pundak. Kalau mereka
duduk, dari kejauhan, hanya kepala mereka yang terlihat. Marwah
menyadari hal ini dan tersenyum. Mereka bisa melakukannya!
Situasi juga sangat memungkinkan. Hari
yang masih pagi membuat para petani sibuk di sawah masing-masing. Tidak
akan ada yang melihat ke arah gubuk, atau bahkan mendatangi tempat
dimana Adi dan Marwah sedang berada sekarang. Ditambah suara ratusan
bebek yang berkuek-kuek nyaring, itu bisa menyamarkan dengan baik suara
desahan mereka saat ngentot nanti. ”Sempurna!” Marwah membatin dalam
hati. Dia kemudian berpaling kembali pada Adi.
“Kamu telentang di sini dan tetap pakai
bajumu. Kalau ada orang lewat, kamu cepat menaikkan kembali celanamu!”
kata Marwah memberi instruksi.
Adi segera mengikuti apa yang dianjurkan
oleh perempuan cantik itu. Dia tidur telentang dan celana melorot
hingga sebatas paha, memperlihatkan burung besarnya yang mendongak gagah
mencari mangsa. Marwah mengelus-elus burung Adi sebentar sampai benda
itu menjadi benar-benar keras. Gila, ternyata kontol itu bisa membengkak
sampai dua kali lipat, ukurannya juga menjadi sedikit lebih panjang.
Marwah sampai geleng-geleng kepala dibuatnya.
”Baru umur segini sudah begini gede,
gimana kalau sudah besar nanti?” Marwah membatin dalam hati, menyadari
potensi pada diri Adi sebagai pria perkasa.
Tak tahan, Marwah segera mengangkat baju
panjangnya ke atas, ia menyingkapnya hingga ke pinggang. Dibiarkannya
Adi mengelus-elus kulit pahanya yang putih mulus sebentar. ”Kamu suka,
Di?” tanyanya sambil melepaskan celana dalam. Dengan nakal dipamerkannya
lubang memeknya yang sempit pada bocah kecil itu.
”S-suka… suka banget, Budhe!” sahut Adi
dengan mata nanar menatap gundukan memek Marwah yang tersaji indah di
depan hidungnya. Dengan tangan gemetar ia mulai mengusap-usap dan
memijitinya.
”Isap, Di,” kata Marwah sambil menggeser sedikit tubuhnya, ia menaruh belahan memeknya tepat di depan mulut si bocah kecil.
Adi dengan penasaran segera menjulurkan
lidahnya. Rasa memek Marwah yang segar dan harum membuatnya suka, iapun
menjilat dan menghisap benda itu dengan begitu rakus. Adi bahkan sampai
membenamkan muka ke dalam lubangnya. Ia bernafas disana. Marwah yang
menerimanya jadi kelojotan tak karuan. Sudah lama ia tidak merasakan
yang seperti ini, dan begitu mendapatkannya, ternyata Adi begitu pintar.
Gerakan lidahnya bagai orang yang sudah berpengalaman bertahun-tahun,
padahal Marwah tahu, ini juga saat pertama Adi.
”Ahh.. Terus, Di. Yah, disitu… isep yang
mungil itu. Itu namanya itil, Di. Enak banget kalau diisep! Oughhh!”
Marwah merintih tak karuan. Tangannya menggapai-gapai untuk mencari
pegangan agar tidak sampai ambruk karena saking nikmatnya. Tapi yang ia
temukan malah kontol besar Adi. Tak apalah, daripada tidak ada sama
sekali. Marwah segera memeganginya dan mulai mengocoknya pelan.
Adi yang mendapat suntikan rangsangan
dari Marwah, melenguh pelan dan mulai menjilat semakin keras. sekarang
bukan lidahnya saja yang bekerja, tapi juga tangannya. Adi menyusupkan
tangannya ke balik baju terusan Marwah dan menyelipkannya di balik BH
perempuan cantik itu. Diremas-remas tetek Marwah yang menggantung indah,
yang selama ini selalu menjadi obsesinya dengan penuh nafsu. Ugh, benda
itu terasa begitu empuk dan kenyal. Ukurannya yang sangat besar membuat
tangan mungil Adi tidak bisa mencakup semuanya. Dengan dua jari, Adi
menjepit dan memilin-milin putingnya yang terasa mengganjal. Sebentar
saja, benda itu sudah menjadi begitu kaku dan keras, sama dengan
kontolnya yang kini mulai dijilat dan diciumi oleh Marwah.
Saling mengulum kemaluan, mereka kini
berposisi 69. Marwah di atas dan Adi di bawah. Melihat kontol Adi yang
menjadi kian keras dan panjang membuat Marwah jadi tak tahan. Maka
sambil menyodorkan memeknya ke mulut mungil si bocah, ia pun mulai
menunduk untuk mengulum dan menjilati batang penis Adi.
Adi yang mendapat tambahan rangsangan
dari Marwah, memekik gembira. Dengan penuh nafsu ia menjilat dan
menghisap memek sempit si ibu muda, sementara kedua tangannya terus
bergerilya meremas-remas gundukan payudara Marwah yang sekarang
menggantung indah di balik bajunya dan sudah tidak tertutup BH.
Cukup lama mereka berada dalam posisi
seperti itu sebelum akhirnya Marwah bangkit dan mulai mengangkangi tubuh
Adi. Menghadap lurus ke arah si bocah, Marwah menaruh kedua lututnya di
atas balai-balai gubuk yang terbuat dari bambu. Ditangkapnya burung Adi
yang sudah menyundul-nyundul tak sabar di depan pintu gerbang surganya,
lalu dituntunnya benda itu agar segera memasukinya secara perlahan.
Memek Marwah terasa sangat lengket dan basah, campuran antara cairan
kewanitaannya yang merembes keluar dan air liur Adi. Marwah terus
menekan tubuhnya ke bawah saat batang penis Adi sudah menyelinap masuk.
”Oughhh…” Adi merintih begitu merasakan
kehangatan lubang memek Marwah yang menyelimuti batang penisnya.
Lorongnya terasa begitu lembut dan hangat, juga sangat menggigit sekali
hingga membuat Adi yang doyan onani jadi merem melek keenakan.
Sambil mengoyang perlahan-lahan, Marwah
berpura-pura lagi menjaga bebeknya. Ketika ada seseorang lewat di
pematang seberang, dia sengaja berteriak-teriak menghalau
bebek-bebeknya. Orang itu tersenyum dan menyapa Marwah, ”Giat amat, Mbak
Marwah. Pagi-pagi sudah ke sawah.”
Menahan desahannya, Marwah tersenyum dan
menjawab, ”Iya nih, Pak, oughhh… bebeknya nakal, ahh… suka nyosor ke
sawah orang, ughh!”
Petani tua yang menyapanya memicingkan mata, ”Mbak Marwah nggak apa-apa? Kok kayak kesakitan gitu?” tanyanya curiga.
Marwah kembali tersenyum, ”B-banyak semut, ehss… pada ngegigit kaki saya!”
Pak Tua tersenyum, ”Hati-hati, Mbak. Disini semutnya nakal-nakal, sukanya gigit wanita cantik.”
”I-iya, Pak, arghhh!” Marwah memekik.
Saat itu, berbaring di bawah tubuhnya, Adi menggenjot penisnya semakin
keras. Begitu kencangnya tusukan itu hingga beberapa kali kontolnya yang
panjang menembus memek Marwah hingga ke pangkal. Marwah jadi kelojotan
dibuatnya. Ia merasa sangat nikmat sekali.
Tetap tersenyum, sambil geleng-geleng
kepala, si Petani Tua pergi meninggalkan Marwah. Dia meneruskan langkah
menuju ke sawahnya sendiri.
”Eghh… Budhe!” Adi memeluk kedua paha
Marwah dan menggoyang pinggulnya semakin cepat. Dia juga merasa nikmat,
bahkan lebih nikmat daripada yang dirasakan Marwah, mungkin karena ini
adalah persetubuhan pertamanya.
Setiap hari, setiap kali angon kambing,
Adi selalu berfantasi dan berbicara tentang kecantikan Marwah dengan
teman-temannya. Bocah-bocah kecil itu ramai ngomongin betapa molek dan
montoknya ibu muda itu. Beberapa kali mereka saling menantang, bertanya
siapa yang berani menggoda Marwah duluan. Dan sampai berbulan-bulan,
ternyata hanya Adi yang berani mendekatinya. Dan sekarang dia
mendapatkan hasilnya, Adi bisa merasakan tubuh montok Marwah meski dalam
situasi yang sangat menegangkan. Tapi justru itu yang bikin nikmat,
rasa deg-degan karena takut terpergok membuat mereka meresapi setiap
detik tautan alat kelamin mereka.
Memandang sekeliling, Marwah memastikan
kalau tidak ada lagi orang yang lewat. Sambil terus menggoyang tubuhnya
dari atas, ia semakin kencang menekan pinggulnya jauh ke bawah, membuat
kontol Adi jadi menusuk dan menancap lebih dalam. Mereka memekik
bersamaan, cukup keras terdengar, tapi untung ada suara celoteh
bebek-bebek yang menyamarkannya. Marwah membungkuk dan mengeluarkan
teteknya dari balik jubah, ia meminta Adi untuk menghisapnya. ”Ini kan
yang kau inginkan?” tanyanya dengan kerlingan nakal.
Tak menjawab, Adi segera menyosor benda
bulat itu. Gerakan mulutnya secepat paruh para bebek yang lagi berebutan
cacing. Bedanya, kali ini puting Marwah lah yang menjadi sasarannya.
Adi mencucup dan menghisapnya dengan rakus. Ia menjilatinya secara
bergantian, dua-duanya ia garap secara adil, dari kiri ke kanan, lalu
balik lagi lagi ke kiri. Kalau sudah kelelahan, ia benamkan mukanya ke
belahannya yang curam.
”Auw!” Marwah memekik kegelian
menerimanya, tapi bukannya berhenti, ia malah meminta Adi agar
menggigit-gigit ringan putingnya. Dengan senang hati, Adipun
melakukannya. Dan Marwah semakin kelojotan dibuatnya, ia terus menekan
tubunnya sampai dirasakannya Adi orgasme tak lama kemudian. Sperma bocah
itu berhamburan memenuhi lubang memeknya.
”Budhe, aku keluar!” pekik bocah itu sambil meremas kuat-kuat tetek besar Marwah.
Marwah terdiam, membiarkan Adi menikmati
puncak permainannya. ”Dasar bocah, baru sebentar sudah keluar.”
batinnya dalam hati. Tapi Marwah tak bisa menyalahkannya juga. Siapa
juga yang bisa tahan main lama dengannya? Jangankan Adi yang masih bau
kencur, dulu suaminya saja hanya sanggup bertahan lima menit.
”Tubuhmu terlalu nikmat, Sayang!” begitu
kata suaminya beralasan kalau Marwah mendengus kecewa. Dan sampai
laki-laki itu meninggal, Marwah tidak pernah merasakan indahnya orgasme.
Jadi dia maklum saja kalau Adi yang baru pertama kali ini ngentot, jadi
kelihatan cupu di depannya.
”Kamu salah memilih sasaran, Di.” gumam
Marwah sambil membenahi pakaiannya. Dia sudah mencabut penis Adi dari
belahan memeknya dan sekarang menyuruh bocah nakal itu untuk mencuci
tubuhnya di sungai. Marwah menyusul tak lama kemudian. Jongkok di tepi
sungai, ia membasuh lubang kencingnya yang penuh oleh sperma Adi.
”Budhe, punyaku bangun lagi.” seru Adi yang duduk di sebelahnya.
Marwah menoleh, dan mendapati kontol Adi
yang sudah tegang kembali. ”Kenapa, kamu pengen lagi?” tanya Marwah
menggoda. Dia memegangi penis itu dan kembali mengocoknya pelan.
Adi mengangguk malu-malu, ”Iya, Budhe.”
”Kan tadi sudah,” kilah Marwah.
”Tapi masih pengen,” rengek Adi manja.
”Besok lagi ya? Sekarang Budhe harus pulang, sudah siang.” Marwah melepas kontol Adi, membuat si bocah melenguh kecewa.
”Besok? Disini? Seperti tadi? tanya Adi penasaran.
Marwah tersenyum dan mengangguk. Hatinya
gembira, dia kini sudah punya ’teman’ yang bisa membantunya melepas
birahi, meski itu adalah Adi, anak tetangganya yang baru berusia
limabelas tahun. Tapi tak apa, biarpun masih kecil, tapi kontolnya sudah
keras dan panjang. Dan kalau dilatih dengan benar, dengan bimbingan
Marwah tentunya, sebentar lagi benda itu akan menjadi dewasa dan siap
untuk digunakan sepenuhnya.
“Gimana, Budhe?” tanya Adi lagi, menagih janji Marwah.
Marwah mengangguk. “Iya, disini. Tapi
ingat, kamu harus jaga rahasia ini. Kalau sampai ada orang yang tahu,
bisa-bisa kamu akan dibunuh orang. Kamu nggak mau kan itu terjadi?”
ancam Marwah.
Adi mengangguk setuju.
***
Esoknya, setelah mengikat
kambing-kambingnya ke pohon terdekat, Adi mendekati Marwah yang sudah
menunggu di dalam gubuk. ”Pagi, Budhe?” sapanya ramah.
Marwah melirik celana bocah itu, tampak
sudah ada sedikit tonjolan disana, Adi rupanya sudah tak sabar. ”Kok
bawa kambing, kemana ayahmu?” tanya Marwah basa-basi.
Tidak menjawab, Adi malah meloncat duduk
di samping Marwah dan langsung menjulurkan tangannya untuk
meremas-remas tetek Marwah yang tersembunyi di balik baju kurung. ”Adi
kangen ini, Budhe.” kata bocah itu.
Marwah tersenyum dan tetap membiarkan
Adi melakukannya. ”Budhe juga kangen ini?” balas Marwah sambil
mengelus-elus kontol Adi dari luar celana. Cukup lama mereka saling
merangsang hingga ada beberapa orang ibu-ibu yang lewat di belakang
gubuk.
Marwah segera berpura-pura menawari Adi minum kopi. ”Cepat minum, Di, sebelum keburu dingin!”
Adi langsung menenggaknya, sama sekali
tidak menyangka kalau kopi itu masih sangat panas. Dia langsung mengaduh
sambil jingkrak-jingkrak, lidahnya serasa terbakar. Para ibu tertawa
melihatnya, bahkan Marwah juga ikutan tertawa. Adi jadi tersipu karena
jadi bahan tertawaan. Tapi untunglah, karena tingkahnya itu, jadi tidak
ada yang curiga dengan apa yang baru saja ia lakukan bersama Marwah.
”Dapat kue apa, Di, dari Budhe Marwah?”
tanya salah seorang ibu. Mereka rupanya hendak menuju sawah Haji karim
yang hari ini dipanen.
Adipun menjawab sekenanya, ”Ini, ada singkong goreng. Tapi masih belum boleh dimakan, nunggu dibuka dulu.”
ibu-ibu tertawa mendengarnya, setelah
pamit pada Marwah, mereka melanjutkan perjalanan. Marwah yang mengerti
apa yang dimaksud oleh Adi, langsung menjitak kepala bocah itu
kuat-kuat.
”Hati-hati kalau bicara, kan sudah Budhe peringatkan kemarin.” ancam Marwah.
”I-iya, Budhe.” sambil mengusap-usap kepalanya yang jadi benjol, Adi menjawab takut-takut.
Marwah jadi kasihan melihatnya. Setelah
melihat sekeliling, memastikan kalau situasi aman, iapun berkata pada
Adi. ”Udah… sini, sekarang kamu rebahan di pahaku. Kepalamu di sini,”
Marwah menunjuk pangkal paha di bawah perutnya. ”Kamu hisap tetek Budhe
biar lidahmu jadi dingin lagi.” kata Marwah, merujuk pada kekonyolan Adi
tadi.
Mengangguk kesenengan, Adipun merebahkan
kepalanya di paha Marwah, dinantikannya Marwah yang sedang sibuk
melepas kancing baju panjangnya. Tersenyum, Marwah mengeluarkan teteknya
dan memberikannya pada Adi, ia menarik keluar dua-duanya, menyajikan
pemandangan yang sangat indah di mata si bocah. Tak berkedip, Adi segera
mencium dan mengulumnya, ia hisap putingnya yang bulat runcing
bergantian, kiri dan kanan. Bagai bayi yang kehausan, mulutnya terus
menempel di dada Marwah. Dengan jilbab lebarnya, Marwah menyembunyikan
kepala Adi, membuat perbuatan mesum mereka jadi terasa aman.
Di sisi lain, Marwah juga tak mau
tinggal diam, dia mulai mengelus-elus burung Adi. Tak puas dari luar
celana, ia masukkan tangannya ke dalam celana si bocah. Masih tak puas
juga, akhirnya ia pelorotkan celana pendek Adi ke bawah hingga kontolnya
yang sudah menegang dahsyat terlontar keluar. Marwah segera menangkap
dan menggenggamnya, lalu dengan perlahan mulai dielusnya. Sementara Adi
terus menghisap teteknya secara bergantian, Marwah mulai mengocok benda
itu kuat-kuat, ia benar-benar gemas dengan kontol muda Adi.
”Ehm… ehss… enak, Budhe!” desis Adi
dengan mulut tetap menempel di puting Marwah, sekarang benda itu sudah
terlihat basah dan memerah karena air liurnya.
Marwah membalas dengan mengocok penis
Adi semakin cepat, dan saat ia sudah mulai tak tahan, cepat-cepat Marwah
menyingkap baju panjangnya dan berbaring telentang di papan. Sedikit
tak sabar, ia bimbing Adi agar segera menindih tubuhnya. Gemas
ditangkapnya burung bocah itu lalu cepat dimasukkannya ke dalam memek
saat Adi tampak kesulitan melakukannya. Begitu sudah masuk, reflek Adi
segera memompa tubuhnya, membuat alat kelamin mereka sekali lagi saling
mengisi dan menggesek.
Mereka melenguh berbarengan, juga
merintih bersama-sama, serta berkeringat berdua sampai akhirnya Adi
melepaskan spermanya tak lama kemudian. Sama seperti kemarin, Marwah
juga belum apa-apa. Ia baru merasa nikmat, tapi Adi sudah keburu
terkapar duluan. Tapi lumayan, sudah sedikit lebih lama dari kemarin.
Adi segera mencabut penisnya dan duduk terengah-engah di samping Marwah, ia melihat sekeliling sembari memperbaiki celananya.
“Bagaimana, ada orang” tanya Marwah yang
masih tiduran. Tangannya menarik kembali bajunya ke bawah hingga
menutup ke mata kaki. Untuk payudaranya, tetap ia biarkan terbuka karena
Adi masih mengusap-usap dan meremas-remasnya pelan. Bocah itu tampak
sangat menyukainya.
Tidak menjawab, mata Adi tetap awas
melihat sekeliling. Sementara tangannya juga tetap berada di atas
gundukan payudara Marwah, meremas-remas lembut disana sambil sesekali
memijit dan menjepit putingnya yang bulat mungil.
Merasa diperdayai, Marwah segera bangkit
dan duduk di samping Adi. Benar, sawah kelihatan sepi, sama sekali
tidak ada orang. Ia segera menjitak kepala bocah itu keras-keras, ”Dasar
kamu, ya!” umpatnya karena sudah dibohongi.
Adi tertawa cengengesan sambil
mengusap-usap kepalanya yang nyeri, sama sekali tidak kelihatan marah.
Malah dia mengajak Marwah untuk pergi ke sungai membersihkan diri.
Sejak itu, hubungan mereka menjadi
semakin ’akrab’. Adi setiap hari meminta jatah kepada Marwah, dia sudah
tidak malu-malu lagi melakukannya, sepertinya dia sudah ketagihan dengan
tubuh molek ibu muda itu. Marwah yang melihatnya, jadi punya ide lain.
Dengan senang hati ia memberikan tubuhnya pada Adi dengan sedikit
permintaan; disuruhnya Adi ini dan itu, mulai dari menjaga bebek hingga
mengangkat pakan ternak yang beratnya minta ampun. Tapi Adi tampak
senang-senang saja melakukannya, yang penting ia dapat merasakan tubuh
mulus Marwah.
Hubungan itu terus berjalan hingga tanpa
terasa sudah memasuki bulan ketiga. Adi sudah semakin ahli dan pintar,
beberapa kali ia bisa mengantar Marwah menuju orgasmenya. Marwah senang
bukan main menerimanya, ia semakin sayang pada bocah itu. Untuk
jaga-jaga, Marwah ikut KB. Tiap hari ia minum pil agar tidak sampai
hamil. Hubungan ini tidak boleh sampai berakhir.
Dan bukan hanya mereka berdua yang
senang, orang tua Adi juga ikut gembira karena anaknya diperlakukan
dengan baik oleh Marwah. Mereka ikhlas saja melepas Adi, bahkan menyuruh
bocah itu agar tak segan membantu Marwah bila ada kesulitan. Misalnya
seperti hari ini, saat Marwah sibuk membuat telor asin, dengan senang
hati orang tua Adi mengijinkan anak mereka agar menginap di rumah
Marwah.
”Biar bisa cepat selesai,” begitu kata ayahnya.
Marwah tersenyum dan mengucapkan terima
kasih. Di belakang, Adi bersorak gembira karena tadi siang, Marwah
menjanjikannya sesuatu yang ’spesial’, dengan syarat dia mau tidur di
rumahnya. Adi jadi tidak sabar menunggu, apakah sesuatu yang spesial
itu?
Malam bergerak lamban bagi Adi. Sampai
pukul 21.00, mereka masih mengerjakan pesanan telor asin yang tinggal
sedikit lagi selesai. Di luar, suasana cukup sepi. Di Desa itu memang
jarang yang keluar malam. Kelelahan setelah bekerja seharian di ladang
membuat banyak rumah yang sudah menutup pintu, bahkan tidak sedikit yang
mematikan lampu. Tak terkecuali kediaman Marwah, bahkan anak dan orang
tua Marwah sudah pada tidur sejak sore tadi. Hanya tinggal Adi dan
Marwah yang masih melek di malam yang dingin itu.
Adi yang sudah tak sabar segera mencolek lengan Marwah, ”Gimana, Budhe?” tanyanya konak.
Marwah membalas dengan mengusap pelan
kontol Ade, benda itu terasa sudah mengeras dan menegang penuh. ”Sabar,
tinggal sedikit lagi.” bisiknya.
Adi memindahkan tangannya ke gundukan
payudara Marwah, membuat baju kurung yang dikenakan wanita itu jadi
bernoda tanah saat dia mulai meremas-remas pelan disana. Marwah hanya
mendesah, tapi tidak menolak. Sambil terus membuat telor asin, dia
membiarkan tangan Adi tetap berkreasi. Sekarang bocah itu malah sudah
memasukkan jari-jemarinya ke sela kancing baju Marwah, menyentuh
gundukan payudaranya secara langsung dan memilin-milin putingnya yang
sudah mulai terasa sedikit mengeras. Marwah sadar, Adi sudah benar-benar
pengen, nafsu bocah itu sudah tidak dapat ditangguhkan lagi.
Meletakkan telornya yang tinggal
sekeranjang lagi, Marwah segera mengajak Adi untuk mencuci tangan ke
sumur belakang. Setelah itu ia segera menuntun si bocah masuk ke dalam
kamarnya. Saat melewati dapur, Marwah mengambil sedikit minyak goreng,
ditaruhnya di dalam sebuah mangkok kecil.
”Buat apa, Budhe?” tanya Adi penasaran.
“Ini yang kubilang spesial kemarin,” sahut Marwah.
”Budhe mau menggoreng ikan di kamar?” tanya Adi polos.
Tawa Marwah meledak mendengarnya, ”Sudah, kamu diam saja.”
Mereka masuk ke kamar dan Marwah segera
mengunci pintunya. Dua anaknya sudah tidur di kamar yang lain, sedang
yang terkecil lebih sering tidur bersama neneknya. Marwah tidur sendiri
di kamar ini. Tapi tidak malam ini, sekarang ia ditemani Adi, yang sudah
ditelanjanginya sampai bugil dan disuruhnya berbaring di atas ranjang.
Marwah sudah melapisi spreinya dengan plastik putih tipis transaparan.
”Panas, Budhe.” Adi mengomentari alas tidurnya yang aneh.
Marwah tersenyum saja, tapi tidak
menjawab. Ia mulai mencopoti seluruh bajunya hingga tak lama kemudian
sudah sama-sama bugil. Kontol Adi tampak semakin menegang dahsyat
melihat tubuh montok Marwah yang tersaji indah di depannya. Inilah untuk
pertama kalinya ia melihat tubuh Budhenya secara utuh, dalam jarak yang
begitu dekat, tanpa perlu harus mengintip seperti yang dilakukannya
dulu.
Tetap tersenyum, Marwah segera berjalan
mendekat sambil membawa mangkok berisi minyak goreng. Ia duduk di
samping Adi. Dibiarkannya tangan Adi yang nakal mulai merambat untuk
mengelus-elus seluruh tubuhnya. ”Kamu suka tubuh Budhe?” tanya Marwah
memancing sambil tangannya mulai melumuri burung Adi memakai minyak
goreng. Adi tentu saja langsung tersentak dibuatnya.
”Ehm… suka banget, Budhe! Uughh… enak!” rintihnya saat Marwah mulai mengocok kontolnya pelan.
Marwah kembali mengucurkan minyaknya,
kali ini giliran perut dan dada Adi yang menjadi sasaran. Dengan
menggunakan gundukan payudaranya, Marwah kemudian menunduk untuk
meratakannya. Adi tentu saja langsung terkejang-kejang dipijit-pijit
seperti itu. Apalagi saat Marwah mulai menindih tubuhnya, dan secara
perlahan memasukkan penisnya yang sudah menegang dahsyat ke dalam lubang
memeknya… ugh, nyawa Adi bagai terbang ke langit ke tujuh merasakannya!
Tapi baru saja ia menggoyang, kira-kira
masih sepuluh tusukan, tiba-tiba Marwah berhenti menggerakkan
pinggulnya, membuat kontol Adi yang baru merasa nikmat jadi ngaceng
tanggung. ”Budhe, kok berhenti?” tanya Adi kecewa.
Marwah tersenyum penuh arti, ”Kamu suka, enak tidak?” tanya Marwah nakal.
Adi mengangguk cepat, ”Enak banget, Budhe. Ayo goyang lagi!” pintanya.
Marwah menggeleng. ”Ada lagi yang lebih
enak, kamu pasti suka!” sambil berkata, dia turun dari tubuh Adi,
membuat si bocah makin mendengus kesal karena merasa dipermainkan.
”Apaan, Budhe? Ayo cepetan!” seru Adi
tak sabar, rasanya dia tega untuk memperkosa Marwah kalau wanita itu
terus menggodanya seperti ini.
Tidak menjawab, Marwah mengambil minyak
goreng lalu mulai melumuri lubang pantatnya sendiri. Setelah dirasa
cukup merata, dia kemudian membungkuk di depan Adi, mempertontonkan
lubang pantatnya yang tampak licin dan mengkilat. Adi yang tidak
mengerti apa yang diinginkan oleh Marwah, segera menyerbu dari belakang
dan menusukkan batang kontolnya ke lubang memek si ibu muda.
”Bukan yang itu, Di.” Marwah cepat mendorong tubuh Adi ke belakang. ”Tapi yang ini!” dia menunjuk lubang anusnya.
Adi celingukan, ”Apa cukup, Budhe?” tanyanya sambil membandingkan ukuran penisnya dengan lubang itu.
”Lakukan saja, nanti aku tuntun,” kata
Marwah tak sabar. Dia kembali menungging saat Adi mulai berlutut di
belakangnya. Cepat ditangkapnya burung bocah itu lalu ia tempelkan
ujungnya yang tumpul ke lubang pantatnya. “Ayo tusuk, Di. Tekan yang
kuat,” Marwah memberi perintah.
Adi mengikuti, ia tekan kontolnya
kuat-kuat hingga menembus lubang sempit itu. Ia merasakan bagaimana
cengkeraman lubang anus Marwah bagai mencekik burungnya, tapi tetap
berusaha ia tahan karena di sisi lain ia juga merasa nikmat karenanya.
Adi merasa kontolnya bagai diremas-remas dan dielus-elus ringan oleh
lorong anus Marwah.
“Ayo goyang, Di,” bisik Marwah saat rasa kebas di pantatnya sudah mulai hilang.
Adi melakukannya, ia mulai menggoyang
pinggulnya perlahan hingga batang penisnya yang besar bergerak
keluar-masuk dengan pelan di dalam lubang sempit Marwah. ”Eghs… Terus,
Di… ughh… enak!” desah Marwah keenakan. Mereka terus berada dalam posisi
seperti itu hingga beberapa menit lamanya.
Sambil menggoyang, Adi menggapai tetek
Marwah yang menggantung indah di depannya untuk digunakannya sebagai
pegangan. Putingnya yang mungil ia pilin-pilin kuat saat penisnya
keluar-masuk semakin cepat di pantat perempuan cantik itu
”Ough… enak, Di! Terus! Tusuk yang
dalam! Ahh…” Marwah menggeleng-gelengkan kepala, merasa sangat nikmat
sekali. Sudah lama ia tidak merasakan yang seperti ini, terakhir dengan
suaminya beberapa tahun yang lalu, itupun tidak lama karena sang suami
lebih suka mencoblos liang memeknya daripada lubang pantatnya. Dengan
Adi, Marwah jadi bisa menyalurkan fantasinya yang tertunda.
”Arghhh… Adi… aku… oughhh…” tak sanggup
meneruskan kata-katanya, Marwah meledak tak lama kemudian. Ia orgasme,
air cintanya tumpah ruah membasahi plastik bening di atas sprei.
Adi sedikit kaget dibuatnya, ia sempat
menghentikan goyangannya sebentar untuk mengintip apa yang terjadi. Saat
tahu kalau Marwah baik-baik saja, bahkan wanita itu terlihat puas dan
bahagia sekali, barulah Adi meneruskan genjotannya, bahkan kali ini
menjadi lebih cepat karena ia juga merasa tidak tahan lagi. Jepitan anus
Marwah yang sangat ketat dan kuat mustahil untuk dilawan.
”Arghhhh… Budhe!” menjerit tak kalah
keras, Adi memeluk kuat tubuh montok Marwah dan menusukkan penisnya
sedalam mungkin ke lubang dubur perempuan cantik itu, disana ia
melepaskan semua spermanya berkali-kali.
Marwah tersenyum, semua pelajarannya
untuk mendewasakan Adi kini tuntas sudah. Anak itu sudah resmi menjadi
lelaki dewasa. Dipeluknya tubuh kurus Adi yang ambruk kelelahan di atas
ranjang, ditunggunya hingga Adi siap untuk ronde yang kedua. Malam ini
adalah malam spesial, mereka tidak boleh tidur!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar