TANPA gairah Roni mengeluarkan sepeda motor dari ruang tamu. Setelah
yakin kondisi oli mesin pada motornya masih cukup bagus, distater dan
dijalankannya mesin kendaraan yang dari segi mode sudah agak ketinggalan
jaman. Bunyinya berderum cukup keras, maklum motor anak muda.
"Sudah siap Ron? Bude Imah udah nungguin nih. Takut pulangnya kemalaman dan kehujanan di jalan," suara ibunya terdengar dari ruang dalam rumahnya.
"Uh bawel amat sih. Orang baru mau manasin mesin kok," gerutu Roni membathin.
Gara-gara Pak Nardi (tetangganya) diam-diam kawin lagi, Roni memang jadi ikutan repot. Sebabnya, Bu Halimah istri Pak Nardi berteman akrab dengan ibunya. Dan Bude Imah (demikian Roni biasa memanggil Bu Halimah) atas masalahnya yang dihadapinya selalu curhat kepada ibunya yang juga ditinggal suami yang kawin lagi. Hingga saat Bude Halimah memutuskan untuk meminta bantuan dukun guna mengembalikan suaminya, atas permintaan ibunya Roni yang diminta untuk selalu mengantarnya. Sang dukun yang tinggal di desa terpencil, kendati masih satu wilayah kabupaten, jaraknya dari rumah Roni lebih dari 50 kilometer. Tetapi bukan karena faktor jarak dan kondisi buruk jalan ke arah sana yang membuat Roni enggan mengantar Bu Halimah. Apalagi wanita itu selalu mengajaknya makan dan memberikan sejumlah uang setiap Roni sehabis mengantar. Namun masalahnya, sudah tiga kali datang ke dukun tersebut belum ada tanda-tanda Pak Nardi akan kembali. Bahkan seperti yang diceritakan Bu Halimah pada ibunya, ulah Pak Nardi kian nekad. Seluruh pakaiannya telah dibawa ke rumah janda yang menjadi istri mudanya. Karenanya Roni merasa, dukun itu hanya mengakali Bu Halimah yang gampang memberi uang sampai ratusan ribu rupiah sekali datang dengan dalih untuk membeli berbagai persyaratan dan sesaji.
"Nak Roni pasti bosan ya harus ngantar-ngantar bude seperti ini," kata
Bu Halimah ketika mereka berhenti makan di warung sate langganan dalam perjalanan ke rumah sang dukun.
"Ee.. enggak Bude. Nggak apa-apa kok," ujar Roni yang terpaksa berhenti menikmati dua tusuk sate terakhir yang tersisa di piringnya.
Sepuluh tusuk sate di piring Bu Halimah tampak telah tandas tanpa sisa. Tetapi Roni yakin wanita itu tidak menikmati makanannya. Karena ekspresi wajahnya terlihat masygul dan tatap matanya terlihat kosong. Pasti ia sangat tertekan gara-gara ulah suaminya. Melihat itu Roni menggeser duduknya, merapat ke dekat Bu Halimah. Diraihnya tangan wanita itu dan digeganggamnya dengan lembut.
"Roni siap mengantar ke manapun Bude mau pergi. Bude tidak usah ragu," kata Roni mencoba meyakinkan.
Cukup lama Roni menggenggam dan meremas tangan Bu Halimah. Bahkan seperti seorang kekasih yang tengah menenangkan pasangannya yang tengah merajuk, Roni melakukan itu sambil menatapi wajah Bu Halimah. Menatapi hidungnya yang bangir, matanya yang teduh dan bibirnya yang merah merekah.
Roni baru menyadari pakaian yang dikenakan wanita itu berbeda dari biasanya. Dibalik jaket tipis warna hitam yang dilepasnya, Bude Halimah hanya mengenakan T shirt warna krem dipadu dengan celana panjang warna hitam. Biasanya ia selalu mengenakan rok terusan panjang yang longgar. Ketatnya bentuk kaos dari bahan agak tipis yang dikenakan, membuat bentuk tubuhnya seperti tercetak sempurna. Di balik kaos tipis itu, sepasang buah dadanya yang berukuran besar nampak membusung dan kutang warna hitam yang dipakainya terlihat membayang. Serasi dengan perawakannya yang tinggi besar. Ke bagian menggunung itulah Roni berkali-kali mencuri pandang. Juga ke leher jenjangnya yang putih seksi meski sudah ada kerutan karena usianya. Kendati usianya memasuki kepala lima, Bu Halimah belum kehilangan pesonanya. Karena itulah Roni sering mencuri-curi pandang menatapi keindahan pinggul dan pantat besarnya serta tonjolan buah dadanya ketika wanita itu cuma mengenakan kaos oblong dan celana training ketat saat hendak berangkat dan sepulang senam dengan ibunya.
Saat telanjang, bentuk tubuhnya pasti jauh lebih merangsang, demikian Roni selalu membathin setiap melihat wanita itu habis bersenam. Karenanya Bu Halimah selalu menjadi wanita favorit yang dihadirkan dalam angan-angannya saat beronani. Sambil mengocok sendiri kontolnya untuk menyalurkan hasrat biologisnya, Roni memang selalu membayangkan nikmatnya dada besar dan memek Bu Halimah bila disetubuhi. Makanya ia tidak habis pikir dengan tindakan Pak Nardi yang jatuh ke pelukan wanita lain.
Diperlakukan sedemikian rupa oleh Roni, Bu Halimah sebenarnya sangat senang dan tersanjung karena ada laki-laki muda yang memberinya perhatian. Hanya seorang wanita pengunjung warung yang lain, menatapinya dengan tatapan aneh hingga Bu Halimah segera menarik tangannya dari genggaman dan belaian Roni.
"Satenya tidak dihabiskan Nak Roni? Kalau tidak yuk kita berangkat. Nanti kemalaman di jalan," ujarnya.
Kunjungan keempat ke rumah sang dukun ternyata sia-sia. Sang dukun ternyata tidak berada di tempat. Kata istrinya, ia tengah ke Jakarta untuk mengobati pasien selama sepekan. Maka diputuskan untuk pulang secepatnya karena mendung di langit mulai menggantung dan cukup tebal. Bu Halimah nampak kecewa.
Dalam perjalanan pulang, baru beberapa kilometer dari tempat tinggal sang dukun, hujan mengguyur deras. Air seperti tercurah dari langit. Saat itu, Roni dan Bu Halimah yang berboncengan sepeda motor tengah berada di posisi jalan sebuah kawasan hutan. Hingga tidak memungkinkan bagi keduanya mencari tempat berteduh. Dalam terpaan derasnya air hujan dan hawa dingin yang menusuk, Roni yang mengenakan jaket kulit tebal tak kelewat terpengaruh oleh cuaca tersebut. Roni hanya merasakan dingin di bagian pinggang ke bawah. Karena celana jins yang dikenakan basah kuyup oleh hujan. Tetapi tidak bagi Bu Halimah. Ia memang memakai jaket. Namun jaket yang dipakainya dari bahan kain yang kelewat tipis hingga air hujan langsung meresap menembus ke semua lapis pakaian yang dikenakannya. Termasuk ke kutang dan celana dalamnya. Karena dingin yang dirasakan ia yang tadinya membonceng agak merenggang, mulai merapat ke depan menempel ke tubuh Roni. Bahkan kedua tangannya akhirnya melingkar, memeluk tubuh pria muda anak teman baiknya tersebut kendati agak canggung. Perubahan posisi yang dilakukan Bu Halimah dalam membonceng sepeda motornya, diyakini Roni dilakukan wanita itu untuk mengurangi dingin akibat hujan. Namun yang membuatnya risih dan kurang berkonsentrasi dalam mengemudi, ia merasakan buah dada Bu Halimah jadi menempel ketat ke punggungnya. Sepasang payudara yang ia yakin ukurannya cukup besar itu, terasa empuk dan sesekali menekan punggungnya. Membayangkan itu, gairah mudanya jadi terbakar. Timbul pikiran nakal di kepala Roni. Saat tubuh Bu Halimah agak merenggang, diinjaknya rem dengan mendadak. Seolah hendak menghindari jalanan berlubang. Dengan begitu tubuh wanita yang diboncengnya terdorong ke depan hingga kembali dirasakan tetek Bu Halimah menekan punggung. Ia melakukannya berkali-kali dan berkali-kali pula tetek besar Bu Halimah menumbuk punggungnya. Hasrat Roni jadi kian terpacu dan fantasinya makin melambung.
Awalnya Bu Halimah mengira injakan rem dilakukan karena Roni benar-benar tengah menghindari lubang. Namun setelah beberapa kali terjadi dan dilihatnya jalanan yang dilalui sangat mulus, ia menjadi curiga. Terlebih ketika ia disadarkan pada sikap Roni saat di warung yang seperti tak lepas memadangi busungan buah dadanya. Menyadari itu, Bu Halimah yakin Roni sengaja melakukannya agar buah dadanya merapat dan menekan punggungnya. Sejak lima bulan terakhir, terlebih sejak suaminya mengawini janda muda, Pak Nardi memang sudah tidak menyentuhnya lagi. Ulah nakal Roni membuat gairah Bu Halimah jadi terpicu. Puting teteknya mengeras mengharap belaian dan remasan mesra. Tanpa sadar ia menggeser posisi duduknya di boncengan sepeda motor. Maju ke depan, merapat serapat- rapatnya ke tubuh yang memboncengkannya. Hingga buah dadanya menempel ketat ke punggung Roni. Ia yakin pemuda anak temannya bisa merasakan besarnya buah dada yang dimilikinya. Seperti halnya Bu Halimah yang mulai terangsang gairahnya akibat buah dadanya yang menggesek-gesek punggung pemuda itu, reaksi Roni malah lebih jauh. Selama ini ia selalu membayangkan tetek Bu Halimah saat beronani. Kini daging empuk dan kenyal itu menempel di punggungnya hingga tak terasa kontolnya mulai mengeras di balik jins ketatnya yang basah oleh hujan.
Hujan mengguyur kian deras dan bahkan mulai kerap ditingkahi oleh suara guruh yang menggelegar serta kilat yang menyambar. Ketika dilihatnya sebuah bangunan pos polisi hutan di pinggir hutan jati, Bu Halimah yang menjadi ketakutan meminta Roni berhenti untuk berteduh.
"Kita berhenti dan numpang berteduh dulu Nak Roni. Takut ah kalau terus di jalan," ujarnya.
Bangunan pos polisi hutan itu kosong tanpa seorang petugas pun di dalamnya. Ada bale besar dari kayu dengan alas tikar. Bahkan di lantai bagian tengah bangunan ada semacam tungku dengan setumpuk kayu bakar kering. Mungkin biasa dipakai para petugas untuk merebus air atau menanak nasi. Sebuah tempat ideal buat berteduh di hari hujan dan cuaca dingin karena di dalamnya bisa memanaskan diri dengan membakar kayu dalam tungku.
Setelah mencopot jaketnya dan menggantungkannya pada paku yang menempel pada tiang bangunan pos polisi hutan, Roni segera berusaha menyalakan api dalam tungku. Untung ada sisa minyak tanah dalam keleng yang ada di sudut ruang. Dengan bantuan korek Zipo-nya, api langsung menyala membakar ranting-ranting kayu kering. Tetapi berbeda dengan Roni yang mulai merasa nyaman dengan kehangatan yang didapat dari posisinya yang berjongkok di depan perapian, Bu Halimah terlihat gelisah. Ia berdiri mematung sambil bersedekap menahan dingin.
"Bude, kenapa di situ. Sini di depan tungku biar hangat," panggil Roni melihat wanita teman ibunya seperti menggigil kedinginan.
"Iya nih dingin banget. Eee .. Nak Roni, jaket kulitnya Bude pinjam dulu ya. Kayaknya bagian dalamnya kering biar tubuh Bude agak hangat," ujar Bude Halimah.
"Oh silahkan-silahkan Bude, pakai saja," kata Roni. Bahkan dengan sigap ia langsung berdiri mengambil jaket tersebut dan bermaksud membantu memakaikannya.
"Nanti dulu Nak, Bude mau copot dulu semua baju ini. Soalnya celana dalam dan kutang Bude ikut basah semua. Ta...... tapi kira-kira ada orang ke sini nggak ya?," kata Bude Halimah lagi sambil memutarkan pandangannya ke arah luar bangunan tersebut.
"Ah kayaknya nggak ada Bude. Nggak mungkin ada yang datang ke hutan di tengah hujan deras begini,"
Meski agak ragu, Bu Halimah akhirnya membukai pakaiannya. Bukan hanya jaket hitamnya yang basah. Kaos ketat warna krem yang dipakainya pun tak kalah kuyup. Setelah Bu Halimah melepaskan jaket dan menaruhnya di balai-balai yang ada, terpampanglah lekuk-liku tubuh wanita itu. Kaos yang dipakainya memang kelewat basah hingga lengket ke tubuhnya. Roni yang berdiri di belakang wanita itu berkali-kali menelan ludah karena lekuk-liku tubuh di hadapannya menjadi seperti telanjang. Namun yang membuat Roni kian gelagapan adalah saat setelah Bu Halimah melepas kaos dan kutang hitamnya. Seperti yang diminta wanita itu, seharusnya dari arah belakang Roni segera membantu mengenakan jaket kulit yang dipegangnya. Tetapi tubuh telanjang di hadapannya kelewat menarik untuk dilewatkan hingga Roni lupa dengan yang harus dilakukan. Ia baru tersadar ketika Bu Halimah mengingatkannya.
"Bude kedinginan Ron, tolong jaketnya dipakaikan," ujar wanita itu.
Ia tampak menggigil kedinginan. Tergesa Roni segera memakaikan jaket kulit miliknya. Menutupkannya ke tubuh telanjang Bu Halimah. Namun karena kelewat tergesa, tanpa segaja tangan Roni menyentuh tetek wanita itu. Payudara Bu Halimah yang ukurannya cukup besar terasa empuk dan lembut. Bahkan jemari Roni sempat pula menyentuh putingnya yang mencuat dan terasa agak keras.
"Ma.. maaf Bude, sa .. saya tidak sengaja," Roni berusaha menarik tangannya setelah sesaat sempat menikmati kelembutan buah dada Bu Halimah.
Tetapi anehnya, Bu Halimah seolah mencegahnya. Dipegangnya tangan Roni dan tetap ditekankannya pada buah dadanya. Seolah memberi kesempatan pemuda itu untuk menggerayangi teteknya.
"Dingin banget ya Ron. Kamu nggak kedinginan?"
"I.. iya Bude, sebenarnya Roni juga kedinginan," kata Roni menimpali.
Dari usaha Bu Halimah agar ia tidak melepaskan sentuhannya pada buah dadanya dan pernyataannya soal kedinginan, Roni menebak wanita itu membutuhkan sentuhan kehangatan. Namun ia tidak berani terlalu gegabah mengingat perbedaan usia yang sangat jauh dan wanita itu adalah teman dekat ibunya.
Karenanya meskipun ia sangat ingin meremasi tetek Bu Halimah yang sudah ada dalam genggamannya, Roni tidak berani melangkah lebih jauh. Takut dianggap kurang ajar dan berpengaruh pada hubungan baik ibunya dan Bu Halimah.
"Tadi waktu di warung Roni ngelihatin tetek Bude terus kan? Juga sengaja main injak rem agar tetek Bude nempel di punggung Roni kan? Kok setelah ada di pegangan malah didiamkan? Bude sudah tua sih, jadi teteknya udah nggak menarik bagi Roni," kata Bu Halimah lagi.
Pernyataan itu membuat Roni semakin yakin bahwa Bu Halimah mengharapkan sentuhan kehangatan. Sekaligus mengingatkan agar Roni mengambil insiatif melakukan sentuhan-sentuhan yang mengundang gairah. Maka peluang itu langsung disambutnya. Tangan Roni yang semula hanya menangkup memegangi busungan buah dada wanita itu, kini mulai berani meremasinya. Remasan yang tidak hanya memberi kehangatan pada diri Bu Halimah yang sudah lama tidak disentuh suaminya, juga memuaskan dahaga Roni yang selama ini hanya bisa membayangkan kemontokan busung dada wanita itu saat beronani.
"Sa.. saya suka banget tetek Bude. Sebenarnya saya sering membayangkannya khususnya kalau habis lihat Bude. Saya suka membayangkan bentuk tubuh Bude kalau telanjang, pasti sangat merangsang," ujar Roni semakin berani.
"Masa? Kalau begitu remaslah Ron, lakukan apa saja yang kamu suka pada tubuh Bude. Sudah lama Pak Nardi nggak menyentuh Bude sejak tergoda janda itu," kata Bu Halimah sambil membalikkan tubuh.
Kini, yang sebelumnya cuma hanya ada di angan-angannya benar-benar terpampang di hadapannya. Tubuh Bu Halimah yang nyaris bugil karena hanya tersisa celana dalam warna hitam yang masih dipakainya setelah jaket yang dipakainya dibiarkan terjatuh ada di depannya. Ah tubuh Bu Halimah ternyata benar-benar masih sangat menawan. Lebih dari yang kubayangkan, begitu Roni membathin.
Postur tubuh Bu Halimah yang tinggi, montok dan berisi benar-benar menawan di mata Roni. Payudaranya besar, mengkal, meski agak turun menyerupai buah kelapa. Pinggangnya ramping dan makin ke bawah pinggulnya yang masih terbungkus celana dalam warna hitam makin membesar seperti gentong besar. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Roni langsung menubruk dan memeluk tubuh telanjang teman baik ibunya itu. Dengan rakus dihisap- hisapnya puting susu kiri Bu Halimah dengan mulutnya. Puting berwarna coklat kehitaman itu terasa mengeras di mulut Roni setelah dihisap dan dipermainkan dengan lidah.
Kedua tangan Roni juga meliar di tubuh montok wanita itu. Sambil terus menghisapi tetek wanita itu, tangan kanan Roni meremasi dan memain- mainkan buah dada Bu Halimah yang lain. Sedangkan telapak tangannya yang sebelah kiri merayap meremasi bongkahan pantat besarnya. Bu Halimah menggelinjang, menahan gairah yang menjadi terbangkitkan. Ia tak menyangka, pemuda anak teman baiknya ternyata menyimpan nafsu terpendam pada dirinya.
Bila diperhatikan seksama, sebenarnya tanda-tanda ketuaan pada Bu Halimah sudah sangat kentara. Wanita berambut sebahu yang bertubuh tinggi besar itu, pada bagian perutnya sudah tidak rata. Agak membusung dan sudah ada lipatan-lipatan kecil. Namun di mata Roni, itu tanda- tanda kematangan pada wanita dan membuatnya makin terangsang. Puas menghisapi tetek Bu Halimah dan meremasi bongkahan pantat besarnya, perhatian Roni mulai tertuju ke selangkangan wanita itu. Bagian di bawah perut yang tertutup celana dalam warna hitam itu, tampak gembung dan membusung. Bahkan terbentuk sebuah celah membujur karena celana dalam yang menutupnya melekat rapat karena basah kuyup akibat air hujan.
Di bagian paling peka milik wanita itulah tangan Roni kini meliar. Diusapnya perlahan memek Bu Halimah dari bagian luar celana dalam yang masih membungkusnya. Roni yang memang belum pernah menyentuh kemaluan wanita, seolah ingin menikmati dan merasakan setiap inchi dari busungan memek wanita itu. Selama ini ia hanya melihat memek wanita dewasa dari video porno yang sering dilihatnya.
Dijalari jari-jari tangan Roni di bagian yang paling peka, Bu Halimah kian mendesah. Terlebih bukan cuma sentuhan-sentuhan di memeknya yang membuat gairahnya terbangkitkan. Tetapi karena pentil-pentil teteknya juga mulai menjadi sasaran kuluman dan hisapan pemuda itu.
"Ssshhh... sshh... aaahhh...ahhhh... terus hisap tetek Bude Ron. Aaahhh... ee.. enak banget Ron, ya... ya terus .. terus hisap,"
Bu Halimah tak mau kalah. Sambil menikmati sentuhan jemari Roni di memeknya dan hisapan pemuda itu di pentil susunya, tangan wanita itu merayap berusaha membuka kancing celana pemuda anak teman akrabnya.
Akhirnya, setelah Roni membantunya dengan membuka kancing celana jinsnya dan sekaligus memelorotkannya bersama CD nya, Bu Halimah menemukan apa yang dicari-carinya. Tanpa melihatnya Bu Halimah tahu ukuran ****** Roni tergolong besar dan panjang. Terlebih jika dibandingkan dengan milik suaminya. Dibelai- belainya batang ****** Roni dan kepala penisnya yang membonggol dan sesekali dengan gemas ia meremasnya.
Demikian pula Roni. Tak puas hanya meraba dan mengusapi memek Bu Halimah dari luar celana dalamnya, kini jari-jarinya berusaha menyelinap mencari celah agar bisa menyentuh kemaluan wanita yang seusia dengan ibunyaitu. Hanya karena celana dalam warna hitam yang dipakai Bu Halimah kelewat ketat, Roni agak kesulitan untuk menyingkapkannya.
Akhirnya, setelah melepas kulumannya pada puting-puting susu Bu Halimah, Roni langsung berjongkok. Celana dalam warna hitam milik wanita ia pelorotkan melewati pinggul dan pantat besarnya hingga sebuah pemandangan yang sangat menggairahkan terpampang di hadapannya. Di selangkangannya, di antara kedua paha membulat Bu Halimah terlihat memeknya yang membusung. Roni terpana sesaat. Seperti yang selama ini ia bayangkan, memek Bu Halimah benar-benar besar dan tembem. Ia tak menyangka bisa mendapat kesempatan untuk melihat dan menyentuh vagina yang oleh pemiliknya telah dipangkas habis bulu-bulunya itu. Peris di bagian pusar dan bawah perut wanita yang sudah tidak rata lagi itu, sudah banyak lipatan dan kerut-kerut di permukaan kulitnya. Sedangkan di bagian bawahnya lagi, yang merupakan bagian atas dari memek Bu Halimah terlihat membentuk semacam gundukan daging dengan permukaan yang lebar dan tebal. Sebenarnya Roni ingin meminta Bu Halimah membuka dan merenggangkan kakinya yang yang berdiri merapat agar pahanya terbuka hingga ia bisa melihat seluruh bagian memeknya Karena dalam posisi berdiri merapatkan kaki, memek teman ibunya tidak terlihat sampai keseluruhan lubangnya. Seperti balita baru mendapatkan mainan baru yang menarik hatinya, Roni mulai mengusap-usap gundukan daging yang terasa hangat di telapak tangannya. Roni agak grogi saat mengusapi vagina Bu Halimah. Usapannya perlahan karena ia baru pertama kali menyentuh bagian paling merangsang pada tubuh wanita tersebut hingga Bu Halimah mengira Roni kurang menyukainya.
"Bude kan udah tua Ron, jadi memeknya udah agak peyot. Pasti jauh merangsang di banding punya pacar Roni ya?"
"Eng... enggak Bude. Sungguh punya Bude merangsang banget. Saya sangat suka. Saya belum punya pacar dan baru kali ini menyentuh yang seperti ini Bude," ujar Roni.
"Masa? Kalau melihat?" Kata Bu Halimah
"Kalau di film BF sering. Ju.. juga saya pernah mengintip dan melihat memek Bude. Waktu itu Bude mandi numpang mandi di rumah. Saya seneng banget sekarang bisa melihat dan memegang langsung," Bu Halimah senang sekaligus bangga mendengar jawaban jujur Roni. Ia tak menyangka anak teman baiknya selama ini menjadi pengagum dirinya secara diam-diam. Ia yang tadinya ragu dan malu untuk memperlihatkan seluruh bagian memeknya dengan merapatkan kakinya karena takut mendapat penolakan dari Roni menjadi percaya diri. Direnggangkan dan lalu diangkatnya kaki kanannya serta ditumpukannya pada pinggiran bale kayu yang ada di dekatnya hingga terpampanglah seluruh bagian memeknya di hadapan pemuda itu.
Roni kian terperangah. Lekat-lekat ditatapinya memek Bu Halimah. Di bagian tengah yang menggunduk ada celah memanjang dengan bagian daging yang menebal di bagian bibir luar memek Bu Halimah. Warnanya coklat hitaman, berkerut-kerut dan mengeras seperti bagian daging yang sudah kapalan. Kontras dengan warna daging merah muda di bagian dalam yang terlihat agak basah. Di bagian atas mendekati ujung celah lubang memek itu, sebentuk tonjolan daging sebesar biji jagung tampak mencuat. Mungkin ini yang dinamakan itil, pikir Roni membatin dan itu kian membuatnya terangsang. Rupanya bagian itu kelewat menarik untuk dilewatkan hingga Roni tergerak untuk menyentuhnya. Diawali dengan mengusap-usap bibir luar memek Bu Halimah yang berkerut dan terasa kasar, ujung jari Roni mulai menelusup masuk ke celahnya lalu menyentuh dan menggesek-gesek tonjolan daging mungil itu.
Mendapat rangsangan di bagian paling peka pada kelaminnya, Bu Halimah yang sudah cukup lama tidak dientot Pak Nardi suaminya, tubuhnya menjadi tergetar hebat. Terlebih ketika itilnya mulai dipermainkan Roni dengan intensitas sentuhan yang makin kerap.
"Ooouuww.. sshh... sshhh
..ahhh..ahh.. ahh...ssshh. Itil Bude kamu apakan Ron? Ahhh... ssshhhh....ssshhhh....akkhhhhh... enak.. banget Ron," lenguh Bu Halimah mendesah.
Namun yang membuat Bu Halimah makin menggelinjang seperti cacing kepanasan serta berkali-kali memekik tertahan menahan nikmat yang tertahankan adalah tatkala dirasakan bibir memeknya serasa dilumat. Karena sangat terangsang, Roni memang akhirnya melumat bibir luar kemaluan Bu Halimah dengan mulutnya. Ia sebenarnya hanya meniru adegan yang sering ditontonnya dalam adegan film mesum. Tetapi ternyata, ulahnya itu membuat Bu Halimah kelojotan menahan nikmat. Bahkan ketika Roni mengecupi dan menghisapi itilnya, erangan dan rintihan Bu Halimah semakin kencang. Roni jadi semakin bersemangat. Lidahnya tak hanya disapu-sapukan tetapi dijulur-julurkan masuk ke kedalaman lubang nikmat Bu Halimah yang mulai terasa asin karena banyaknya cairan pelicin yang keluar.
Merasa pertahanannya hampir jebol dan didorong keinginannya untuk segera merasakan batang ****** Roni yang berukuran ekstra besar dan panjang, Bu Halimah meminta Roni menghentikan aksi obok-obok memek dan itil dengan mulut dan lidahnya.
"Sshh.. sshh.. aahhh.. ahhh... ahhh. Udah Ron, Bude nggak tahan." kata Bu Halimah sambil menarik kepala Roni menjauh dari selangkangannya.
Lalu diajaknya Roni ke bale kayu tempat para penjaga hutan melepas lelah. Di bale kayu itu, Bu Halimah langsung merebahkan tubuh telentang dan membuka lebar pahanya. Roni tahu tugas yang menunggunya kini adalah menyogok lubang memek teman ibunya yang memang sudah lama ingin dinikmatinya. Seeperti tak sabar Bu Halimah langsung menggenggam ****** Roni ketika pemuda itu telah berada di atas tubuhnya. Ujung penis Roni yang membonggol besar di arahkannya tepat di tengah lubang memeknya.
"Masukkan Ron.. ahhh ..ahhh Bude udah kepengen merasakan kontolmu,"
"Sa... saya juga Bude. Roni sudah lama pengen ngentot dengan Bude. Roni suka memek Bude,"
"I.ii. iya Ron, cepat tekan dan masukan kontolmu," ujar Bu Halimah.
Akhirnya, Roni menurunkan pinggulnya. Ujung penisnya menyentuh bibir luar memek Bu Halimah yang sudah menunggu untuk disogok. Tetapi karena kepala ****** Roni kelewat membonggol dan berukuran cukup besar, tak mudah untuk masuk meskipun memek Bu Halimah tergolong sudah oblong.
"Kayaknya ****** kamu gede banget Ron. Jauh lebih gede dibanding punya Pak Nardi jadi agak sulit masuknya,"
"Te... terus gimana Bude?," Kata Roni bingung.
Namun Bu Halimah tidak kehilangan akal. Dikeluarkannya ludah dari mulutnya dan ditampungnya di telapak tangannya. Lalu, ludah itu dibalur-balurkannya di ujung ****** Roni agar bisa menjadi semacam pelumas.
"Udah Ron, masukkan lagi kontolmu tapi pelan-pelan ya,"
"Ii... iya Bude,"
Karena terburu-buru dan sama sekali belum pernah melakukannya, ujung rudal Roni sempat meleset. Kepala penis pemuda itu terantuk di bagian atas lubang memek Bu Halimah dan hanya mengenai itilnya hingga wanita itu memekik. Baru setelah dipandu tangan Bu Halimah, sedikit demi sedikit ujung ****** Roni mulai masuk dan akhirnya bleesss! ****** Roni berhasil masuk sepenuhnya ke lubang nikmat itu setelah ia sedikit menyentaknya dan membuat Bu Halimah kembali memekik.
"Sa... sakit Bude?"
"Eee .. enggak Ron. Bude cuma kaget. ****** kamu gede banget,"
Sudah sangat sering Roni membayangkan nikmatnya bersetubuh dengan Bu Halimah sambil mengocok-ngocok sendiri kontolnya. Tetapi ternyata, jauh lebih nikmat ngentot langsung dengan wanita itu. Batang kontolnya yang telah membenam di lubang kenikmatan teman ibunya itu, terasa hangat dan nikmat dijepit dinding-dinding vagina Bu Halimah. Disogok ****** pemuda berukuran besar, wanita yang sudah lama tidak menikmati permainan ranjang sejak suaminya menikah lagi itu mengulum senyum. Senyum yang membuat wajah tuanya kembali kelihatan cantik dan membuat Roni tergerak untuk melumat bibirnya. Ciuman itu langsung disambut Bu Halimah dengan lebih panas. Lidah Roni yang terjulur langsung dihisapnya hingga bukan hanya kemaluan keduanya yang beradu di bagian bawah tetapi mereka juga saling hisap dengan kedua mulutnya.
Hari semakin gelap dan hujan yang mengguyur kawasan hutan jati kian menderas diseling bunyi guruh yang sesekali menggelegar. Namun cuaca buruk yang tengah berlangsung tak mempengaruhi panasnya gairah yang tengah disalurkan pasangan itu. Desahan dan erangan nikmat yang keluar dari mulut pasangan itu seolah ingin mengalahkan bunyi halilintar yang menggelegar. Bu Halimah benar-benar dibuat melayang dan dihantarkan pada kenikmatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya setelah Roni menaik-turunkan pinggulnya dan memaju-mundurkan batang kontolnya di lubang memeknya. Apalagi Roni juga sesekali menyelingnya dengan meremasi susunya yang besar. Bahkan tidak jarang Roni juga memilintir dan memijit puting teteknya yang membuatnya merintih menahan nikmat.
"Terus Ron... sshhh..... ssshhh.... aahh.... aahhh... enak banget entotanmu Ron. Ssshhhh... sshhhhh.... Bude nggak pernah merasakan seenak ini bila dengan Pak Nardi. Aaahhh..... aaauuwww.... sshhhh... sshhhhh,"
Dulu, semasa Pak Nardi belum kena pelet dan akhirnya mengawini seorang janda, sikap Bu Halimah dalam melayani suaminya sebenarnya tergolong biasa-biasa saja. Apalagi Pak Nardi tergolong kurang potensinya dalam urusan ranjang. Hingga ia merasa tidak perlu menservisnya dan dalam melayani sekadar asal suami bisa muncrat saja air maninya. Namun menghadapi Roni dengan tenaga muda serta kekerasan batang kontolnya yang mampu membuatnya merintih nikmat, Bu Halimah merasa harus memberikan respon yang sepadan. Maka sambil menggoyang pinggul dan memutar-mutarkan pantat besarnya, otot-otot bagian dalam memeknya juga ikut dikejut-kejutkan hingga mampu mencengkeram kuat batang ****** pemuda itu. Apa yang dilakukan Bu Halimah membuat batang ****** Roni serasa dihisap hingga memberi kenikmatan tiada tara. Permainan panas keduanya mendekati puncaknya setelah irama goyangan dan hunjaman yang berlangsung dalam gelap mulai tidak teratur. Roni mulai menancapkan batang kontolnya di lubang memek Bu Halimah dengan sentakan-sentakan. Sementara Bu Halimah sesekali mulai mengangka tinggi-tinggi pantatnya.
"Sshhh... ookkkhhh.... oookkkk.. enak banget... enak banget. Ahhhh.... ahhh... ssshhh terus Ron... enak banget. Akhhh.... bude hampir keluar.. Ron... ohhhkkhhhh,"
"Roni juga Bude... aahhhh..... aahhhkk.... terus hisap Bude. Akhhhh.... ya.... terusshhhh.... akkhhh memek Bude anak banget," Akhirnya, diawali dengan tubuh mengejang Bu Halimah akhirnya menggelepar menikmati orgasme yang didapatnya. Ditandai dengan semburan hangat dari setiap sudut di lubang vaginanya membasahi batang ****** Roni. Seperti halnya Bu Halimah, di saat yang hampir bersamaan Roni juga merasa tak mampu lagi membendung apa yang ingin dimuntahkannya. Setelah mengerang menahan nikmat tiada tara yang didapatnya, Roni akhirnya ambruk di tubuh montok wanita itu. Tak kalah banyak, air mani Roni juga menyembur bak lahar panas. Membanjir berbaur dengan cairan yang keluar dari lubang memek wanita teman dekat ibunya. Keduanya baru menyadari bahwa hari telah beranjak malam setelah beberapa saat melepas lelah dari permainan nikmat yang baru dilakukan. Dalam gelap dan hanya diterangi sinar dari nyala api di tungku perapian yang ada di tempat berteduh penjaga hutan itu, Roni segera mengumpulkan pakaiannya untuk dikenakan. Begitu juga Bu Halimah. Setelah semua pakaian dikenakan, Roni langsung menstater motornya dan melesat menembus kegelapan hutan jati. Hanya, sepanjang perjalanan pulang keduanya terdiam membisu.
Suasana kaku itu baru cair setelah Roni menghentikan motornya karena berniat membeli rokok di sebuah kios di sebuah kampung.
"Nih pakai uang Bude saja Ron," kata Bu Halimah menyodorkan lembaran seratus ribu rupiah.
Roni membeli sebungkus rokok dan dua botol air mineral yang langsung ditenggaknya. Botol air mineral yang lain disodorkannya kepada bu Halimah sambil menyerahkan uang kembalian. Namun Bu Halimah hanya mau menerima air mineralnya saja yang juga langsung dibuka dan diminumnya.
"Kembaliannya kamu kantongi saja untuk beli bensin," ujarnya.
Setelah kembali berada di atas sepeda motor, Bu Halimah kembali membuka percakapan.
"Kok Roni diam saja sih. Nyesel ya melakukan itu dengan orang setua Bude?"
"Ih enggak Bude. Sungguh. Roni diam karena takut Bude marah. Sungguh Roni sangat senang berkesempatan berdua dengan Bude seperti tadi," kata Roni.
Bu Halimah yang sempat canggung, kini kembali merapatkan posisi duduknya dalam membonceng dan tangannya memeluk tubuh Roni dari belakang. Sikap mesra keduanya mirip sepasang kekasih yang tengah menikmati masa-masa indah berpacaran karena angan mereka melambung pada bayang-bayang kenikmatan yang baru direguknya
TAMAT
"Sudah siap Ron? Bude Imah udah nungguin nih. Takut pulangnya kemalaman dan kehujanan di jalan," suara ibunya terdengar dari ruang dalam rumahnya.
"Uh bawel amat sih. Orang baru mau manasin mesin kok," gerutu Roni membathin.
Gara-gara Pak Nardi (tetangganya) diam-diam kawin lagi, Roni memang jadi ikutan repot. Sebabnya, Bu Halimah istri Pak Nardi berteman akrab dengan ibunya. Dan Bude Imah (demikian Roni biasa memanggil Bu Halimah) atas masalahnya yang dihadapinya selalu curhat kepada ibunya yang juga ditinggal suami yang kawin lagi. Hingga saat Bude Halimah memutuskan untuk meminta bantuan dukun guna mengembalikan suaminya, atas permintaan ibunya Roni yang diminta untuk selalu mengantarnya. Sang dukun yang tinggal di desa terpencil, kendati masih satu wilayah kabupaten, jaraknya dari rumah Roni lebih dari 50 kilometer. Tetapi bukan karena faktor jarak dan kondisi buruk jalan ke arah sana yang membuat Roni enggan mengantar Bu Halimah. Apalagi wanita itu selalu mengajaknya makan dan memberikan sejumlah uang setiap Roni sehabis mengantar. Namun masalahnya, sudah tiga kali datang ke dukun tersebut belum ada tanda-tanda Pak Nardi akan kembali. Bahkan seperti yang diceritakan Bu Halimah pada ibunya, ulah Pak Nardi kian nekad. Seluruh pakaiannya telah dibawa ke rumah janda yang menjadi istri mudanya. Karenanya Roni merasa, dukun itu hanya mengakali Bu Halimah yang gampang memberi uang sampai ratusan ribu rupiah sekali datang dengan dalih untuk membeli berbagai persyaratan dan sesaji.
"Nak Roni pasti bosan ya harus ngantar-ngantar bude seperti ini," kata
Bu Halimah ketika mereka berhenti makan di warung sate langganan dalam perjalanan ke rumah sang dukun.
"Ee.. enggak Bude. Nggak apa-apa kok," ujar Roni yang terpaksa berhenti menikmati dua tusuk sate terakhir yang tersisa di piringnya.
Sepuluh tusuk sate di piring Bu Halimah tampak telah tandas tanpa sisa. Tetapi Roni yakin wanita itu tidak menikmati makanannya. Karena ekspresi wajahnya terlihat masygul dan tatap matanya terlihat kosong. Pasti ia sangat tertekan gara-gara ulah suaminya. Melihat itu Roni menggeser duduknya, merapat ke dekat Bu Halimah. Diraihnya tangan wanita itu dan digeganggamnya dengan lembut.
"Roni siap mengantar ke manapun Bude mau pergi. Bude tidak usah ragu," kata Roni mencoba meyakinkan.
Cukup lama Roni menggenggam dan meremas tangan Bu Halimah. Bahkan seperti seorang kekasih yang tengah menenangkan pasangannya yang tengah merajuk, Roni melakukan itu sambil menatapi wajah Bu Halimah. Menatapi hidungnya yang bangir, matanya yang teduh dan bibirnya yang merah merekah.
Roni baru menyadari pakaian yang dikenakan wanita itu berbeda dari biasanya. Dibalik jaket tipis warna hitam yang dilepasnya, Bude Halimah hanya mengenakan T shirt warna krem dipadu dengan celana panjang warna hitam. Biasanya ia selalu mengenakan rok terusan panjang yang longgar. Ketatnya bentuk kaos dari bahan agak tipis yang dikenakan, membuat bentuk tubuhnya seperti tercetak sempurna. Di balik kaos tipis itu, sepasang buah dadanya yang berukuran besar nampak membusung dan kutang warna hitam yang dipakainya terlihat membayang. Serasi dengan perawakannya yang tinggi besar. Ke bagian menggunung itulah Roni berkali-kali mencuri pandang. Juga ke leher jenjangnya yang putih seksi meski sudah ada kerutan karena usianya. Kendati usianya memasuki kepala lima, Bu Halimah belum kehilangan pesonanya. Karena itulah Roni sering mencuri-curi pandang menatapi keindahan pinggul dan pantat besarnya serta tonjolan buah dadanya ketika wanita itu cuma mengenakan kaos oblong dan celana training ketat saat hendak berangkat dan sepulang senam dengan ibunya.
Saat telanjang, bentuk tubuhnya pasti jauh lebih merangsang, demikian Roni selalu membathin setiap melihat wanita itu habis bersenam. Karenanya Bu Halimah selalu menjadi wanita favorit yang dihadirkan dalam angan-angannya saat beronani. Sambil mengocok sendiri kontolnya untuk menyalurkan hasrat biologisnya, Roni memang selalu membayangkan nikmatnya dada besar dan memek Bu Halimah bila disetubuhi. Makanya ia tidak habis pikir dengan tindakan Pak Nardi yang jatuh ke pelukan wanita lain.
Diperlakukan sedemikian rupa oleh Roni, Bu Halimah sebenarnya sangat senang dan tersanjung karena ada laki-laki muda yang memberinya perhatian. Hanya seorang wanita pengunjung warung yang lain, menatapinya dengan tatapan aneh hingga Bu Halimah segera menarik tangannya dari genggaman dan belaian Roni.
"Satenya tidak dihabiskan Nak Roni? Kalau tidak yuk kita berangkat. Nanti kemalaman di jalan," ujarnya.
Kunjungan keempat ke rumah sang dukun ternyata sia-sia. Sang dukun ternyata tidak berada di tempat. Kata istrinya, ia tengah ke Jakarta untuk mengobati pasien selama sepekan. Maka diputuskan untuk pulang secepatnya karena mendung di langit mulai menggantung dan cukup tebal. Bu Halimah nampak kecewa.
Dalam perjalanan pulang, baru beberapa kilometer dari tempat tinggal sang dukun, hujan mengguyur deras. Air seperti tercurah dari langit. Saat itu, Roni dan Bu Halimah yang berboncengan sepeda motor tengah berada di posisi jalan sebuah kawasan hutan. Hingga tidak memungkinkan bagi keduanya mencari tempat berteduh. Dalam terpaan derasnya air hujan dan hawa dingin yang menusuk, Roni yang mengenakan jaket kulit tebal tak kelewat terpengaruh oleh cuaca tersebut. Roni hanya merasakan dingin di bagian pinggang ke bawah. Karena celana jins yang dikenakan basah kuyup oleh hujan. Tetapi tidak bagi Bu Halimah. Ia memang memakai jaket. Namun jaket yang dipakainya dari bahan kain yang kelewat tipis hingga air hujan langsung meresap menembus ke semua lapis pakaian yang dikenakannya. Termasuk ke kutang dan celana dalamnya. Karena dingin yang dirasakan ia yang tadinya membonceng agak merenggang, mulai merapat ke depan menempel ke tubuh Roni. Bahkan kedua tangannya akhirnya melingkar, memeluk tubuh pria muda anak teman baiknya tersebut kendati agak canggung. Perubahan posisi yang dilakukan Bu Halimah dalam membonceng sepeda motornya, diyakini Roni dilakukan wanita itu untuk mengurangi dingin akibat hujan. Namun yang membuatnya risih dan kurang berkonsentrasi dalam mengemudi, ia merasakan buah dada Bu Halimah jadi menempel ketat ke punggungnya. Sepasang payudara yang ia yakin ukurannya cukup besar itu, terasa empuk dan sesekali menekan punggungnya. Membayangkan itu, gairah mudanya jadi terbakar. Timbul pikiran nakal di kepala Roni. Saat tubuh Bu Halimah agak merenggang, diinjaknya rem dengan mendadak. Seolah hendak menghindari jalanan berlubang. Dengan begitu tubuh wanita yang diboncengnya terdorong ke depan hingga kembali dirasakan tetek Bu Halimah menekan punggung. Ia melakukannya berkali-kali dan berkali-kali pula tetek besar Bu Halimah menumbuk punggungnya. Hasrat Roni jadi kian terpacu dan fantasinya makin melambung.
Awalnya Bu Halimah mengira injakan rem dilakukan karena Roni benar-benar tengah menghindari lubang. Namun setelah beberapa kali terjadi dan dilihatnya jalanan yang dilalui sangat mulus, ia menjadi curiga. Terlebih ketika ia disadarkan pada sikap Roni saat di warung yang seperti tak lepas memadangi busungan buah dadanya. Menyadari itu, Bu Halimah yakin Roni sengaja melakukannya agar buah dadanya merapat dan menekan punggungnya. Sejak lima bulan terakhir, terlebih sejak suaminya mengawini janda muda, Pak Nardi memang sudah tidak menyentuhnya lagi. Ulah nakal Roni membuat gairah Bu Halimah jadi terpicu. Puting teteknya mengeras mengharap belaian dan remasan mesra. Tanpa sadar ia menggeser posisi duduknya di boncengan sepeda motor. Maju ke depan, merapat serapat- rapatnya ke tubuh yang memboncengkannya. Hingga buah dadanya menempel ketat ke punggung Roni. Ia yakin pemuda anak temannya bisa merasakan besarnya buah dada yang dimilikinya. Seperti halnya Bu Halimah yang mulai terangsang gairahnya akibat buah dadanya yang menggesek-gesek punggung pemuda itu, reaksi Roni malah lebih jauh. Selama ini ia selalu membayangkan tetek Bu Halimah saat beronani. Kini daging empuk dan kenyal itu menempel di punggungnya hingga tak terasa kontolnya mulai mengeras di balik jins ketatnya yang basah oleh hujan.
Hujan mengguyur kian deras dan bahkan mulai kerap ditingkahi oleh suara guruh yang menggelegar serta kilat yang menyambar. Ketika dilihatnya sebuah bangunan pos polisi hutan di pinggir hutan jati, Bu Halimah yang menjadi ketakutan meminta Roni berhenti untuk berteduh.
"Kita berhenti dan numpang berteduh dulu Nak Roni. Takut ah kalau terus di jalan," ujarnya.
Bangunan pos polisi hutan itu kosong tanpa seorang petugas pun di dalamnya. Ada bale besar dari kayu dengan alas tikar. Bahkan di lantai bagian tengah bangunan ada semacam tungku dengan setumpuk kayu bakar kering. Mungkin biasa dipakai para petugas untuk merebus air atau menanak nasi. Sebuah tempat ideal buat berteduh di hari hujan dan cuaca dingin karena di dalamnya bisa memanaskan diri dengan membakar kayu dalam tungku.
Setelah mencopot jaketnya dan menggantungkannya pada paku yang menempel pada tiang bangunan pos polisi hutan, Roni segera berusaha menyalakan api dalam tungku. Untung ada sisa minyak tanah dalam keleng yang ada di sudut ruang. Dengan bantuan korek Zipo-nya, api langsung menyala membakar ranting-ranting kayu kering. Tetapi berbeda dengan Roni yang mulai merasa nyaman dengan kehangatan yang didapat dari posisinya yang berjongkok di depan perapian, Bu Halimah terlihat gelisah. Ia berdiri mematung sambil bersedekap menahan dingin.
"Bude, kenapa di situ. Sini di depan tungku biar hangat," panggil Roni melihat wanita teman ibunya seperti menggigil kedinginan.
"Iya nih dingin banget. Eee .. Nak Roni, jaket kulitnya Bude pinjam dulu ya. Kayaknya bagian dalamnya kering biar tubuh Bude agak hangat," ujar Bude Halimah.
"Oh silahkan-silahkan Bude, pakai saja," kata Roni. Bahkan dengan sigap ia langsung berdiri mengambil jaket tersebut dan bermaksud membantu memakaikannya.
"Nanti dulu Nak, Bude mau copot dulu semua baju ini. Soalnya celana dalam dan kutang Bude ikut basah semua. Ta...... tapi kira-kira ada orang ke sini nggak ya?," kata Bude Halimah lagi sambil memutarkan pandangannya ke arah luar bangunan tersebut.
"Ah kayaknya nggak ada Bude. Nggak mungkin ada yang datang ke hutan di tengah hujan deras begini,"
Meski agak ragu, Bu Halimah akhirnya membukai pakaiannya. Bukan hanya jaket hitamnya yang basah. Kaos ketat warna krem yang dipakainya pun tak kalah kuyup. Setelah Bu Halimah melepaskan jaket dan menaruhnya di balai-balai yang ada, terpampanglah lekuk-liku tubuh wanita itu. Kaos yang dipakainya memang kelewat basah hingga lengket ke tubuhnya. Roni yang berdiri di belakang wanita itu berkali-kali menelan ludah karena lekuk-liku tubuh di hadapannya menjadi seperti telanjang. Namun yang membuat Roni kian gelagapan adalah saat setelah Bu Halimah melepas kaos dan kutang hitamnya. Seperti yang diminta wanita itu, seharusnya dari arah belakang Roni segera membantu mengenakan jaket kulit yang dipegangnya. Tetapi tubuh telanjang di hadapannya kelewat menarik untuk dilewatkan hingga Roni lupa dengan yang harus dilakukan. Ia baru tersadar ketika Bu Halimah mengingatkannya.
"Bude kedinginan Ron, tolong jaketnya dipakaikan," ujar wanita itu.
Ia tampak menggigil kedinginan. Tergesa Roni segera memakaikan jaket kulit miliknya. Menutupkannya ke tubuh telanjang Bu Halimah. Namun karena kelewat tergesa, tanpa segaja tangan Roni menyentuh tetek wanita itu. Payudara Bu Halimah yang ukurannya cukup besar terasa empuk dan lembut. Bahkan jemari Roni sempat pula menyentuh putingnya yang mencuat dan terasa agak keras.
"Ma.. maaf Bude, sa .. saya tidak sengaja," Roni berusaha menarik tangannya setelah sesaat sempat menikmati kelembutan buah dada Bu Halimah.
Tetapi anehnya, Bu Halimah seolah mencegahnya. Dipegangnya tangan Roni dan tetap ditekankannya pada buah dadanya. Seolah memberi kesempatan pemuda itu untuk menggerayangi teteknya.
"Dingin banget ya Ron. Kamu nggak kedinginan?"
"I.. iya Bude, sebenarnya Roni juga kedinginan," kata Roni menimpali.
Dari usaha Bu Halimah agar ia tidak melepaskan sentuhannya pada buah dadanya dan pernyataannya soal kedinginan, Roni menebak wanita itu membutuhkan sentuhan kehangatan. Namun ia tidak berani terlalu gegabah mengingat perbedaan usia yang sangat jauh dan wanita itu adalah teman dekat ibunya.
Karenanya meskipun ia sangat ingin meremasi tetek Bu Halimah yang sudah ada dalam genggamannya, Roni tidak berani melangkah lebih jauh. Takut dianggap kurang ajar dan berpengaruh pada hubungan baik ibunya dan Bu Halimah.
"Tadi waktu di warung Roni ngelihatin tetek Bude terus kan? Juga sengaja main injak rem agar tetek Bude nempel di punggung Roni kan? Kok setelah ada di pegangan malah didiamkan? Bude sudah tua sih, jadi teteknya udah nggak menarik bagi Roni," kata Bu Halimah lagi.
Pernyataan itu membuat Roni semakin yakin bahwa Bu Halimah mengharapkan sentuhan kehangatan. Sekaligus mengingatkan agar Roni mengambil insiatif melakukan sentuhan-sentuhan yang mengundang gairah. Maka peluang itu langsung disambutnya. Tangan Roni yang semula hanya menangkup memegangi busungan buah dada wanita itu, kini mulai berani meremasinya. Remasan yang tidak hanya memberi kehangatan pada diri Bu Halimah yang sudah lama tidak disentuh suaminya, juga memuaskan dahaga Roni yang selama ini hanya bisa membayangkan kemontokan busung dada wanita itu saat beronani.
"Sa.. saya suka banget tetek Bude. Sebenarnya saya sering membayangkannya khususnya kalau habis lihat Bude. Saya suka membayangkan bentuk tubuh Bude kalau telanjang, pasti sangat merangsang," ujar Roni semakin berani.
"Masa? Kalau begitu remaslah Ron, lakukan apa saja yang kamu suka pada tubuh Bude. Sudah lama Pak Nardi nggak menyentuh Bude sejak tergoda janda itu," kata Bu Halimah sambil membalikkan tubuh.
Kini, yang sebelumnya cuma hanya ada di angan-angannya benar-benar terpampang di hadapannya. Tubuh Bu Halimah yang nyaris bugil karena hanya tersisa celana dalam warna hitam yang masih dipakainya setelah jaket yang dipakainya dibiarkan terjatuh ada di depannya. Ah tubuh Bu Halimah ternyata benar-benar masih sangat menawan. Lebih dari yang kubayangkan, begitu Roni membathin.
Postur tubuh Bu Halimah yang tinggi, montok dan berisi benar-benar menawan di mata Roni. Payudaranya besar, mengkal, meski agak turun menyerupai buah kelapa. Pinggangnya ramping dan makin ke bawah pinggulnya yang masih terbungkus celana dalam warna hitam makin membesar seperti gentong besar. Tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Roni langsung menubruk dan memeluk tubuh telanjang teman baik ibunya itu. Dengan rakus dihisap- hisapnya puting susu kiri Bu Halimah dengan mulutnya. Puting berwarna coklat kehitaman itu terasa mengeras di mulut Roni setelah dihisap dan dipermainkan dengan lidah.
Kedua tangan Roni juga meliar di tubuh montok wanita itu. Sambil terus menghisapi tetek wanita itu, tangan kanan Roni meremasi dan memain- mainkan buah dada Bu Halimah yang lain. Sedangkan telapak tangannya yang sebelah kiri merayap meremasi bongkahan pantat besarnya. Bu Halimah menggelinjang, menahan gairah yang menjadi terbangkitkan. Ia tak menyangka, pemuda anak teman baiknya ternyata menyimpan nafsu terpendam pada dirinya.
Bila diperhatikan seksama, sebenarnya tanda-tanda ketuaan pada Bu Halimah sudah sangat kentara. Wanita berambut sebahu yang bertubuh tinggi besar itu, pada bagian perutnya sudah tidak rata. Agak membusung dan sudah ada lipatan-lipatan kecil. Namun di mata Roni, itu tanda- tanda kematangan pada wanita dan membuatnya makin terangsang. Puas menghisapi tetek Bu Halimah dan meremasi bongkahan pantat besarnya, perhatian Roni mulai tertuju ke selangkangan wanita itu. Bagian di bawah perut yang tertutup celana dalam warna hitam itu, tampak gembung dan membusung. Bahkan terbentuk sebuah celah membujur karena celana dalam yang menutupnya melekat rapat karena basah kuyup akibat air hujan.
Di bagian paling peka milik wanita itulah tangan Roni kini meliar. Diusapnya perlahan memek Bu Halimah dari bagian luar celana dalam yang masih membungkusnya. Roni yang memang belum pernah menyentuh kemaluan wanita, seolah ingin menikmati dan merasakan setiap inchi dari busungan memek wanita itu. Selama ini ia hanya melihat memek wanita dewasa dari video porno yang sering dilihatnya.
Dijalari jari-jari tangan Roni di bagian yang paling peka, Bu Halimah kian mendesah. Terlebih bukan cuma sentuhan-sentuhan di memeknya yang membuat gairahnya terbangkitkan. Tetapi karena pentil-pentil teteknya juga mulai menjadi sasaran kuluman dan hisapan pemuda itu.
"Ssshhh... sshh... aaahhh...ahhhh... terus hisap tetek Bude Ron. Aaahhh... ee.. enak banget Ron, ya... ya terus .. terus hisap,"
Bu Halimah tak mau kalah. Sambil menikmati sentuhan jemari Roni di memeknya dan hisapan pemuda itu di pentil susunya, tangan wanita itu merayap berusaha membuka kancing celana pemuda anak teman akrabnya.
Akhirnya, setelah Roni membantunya dengan membuka kancing celana jinsnya dan sekaligus memelorotkannya bersama CD nya, Bu Halimah menemukan apa yang dicari-carinya. Tanpa melihatnya Bu Halimah tahu ukuran ****** Roni tergolong besar dan panjang. Terlebih jika dibandingkan dengan milik suaminya. Dibelai- belainya batang ****** Roni dan kepala penisnya yang membonggol dan sesekali dengan gemas ia meremasnya.
Demikian pula Roni. Tak puas hanya meraba dan mengusapi memek Bu Halimah dari luar celana dalamnya, kini jari-jarinya berusaha menyelinap mencari celah agar bisa menyentuh kemaluan wanita yang seusia dengan ibunyaitu. Hanya karena celana dalam warna hitam yang dipakai Bu Halimah kelewat ketat, Roni agak kesulitan untuk menyingkapkannya.
Akhirnya, setelah melepas kulumannya pada puting-puting susu Bu Halimah, Roni langsung berjongkok. Celana dalam warna hitam milik wanita ia pelorotkan melewati pinggul dan pantat besarnya hingga sebuah pemandangan yang sangat menggairahkan terpampang di hadapannya. Di selangkangannya, di antara kedua paha membulat Bu Halimah terlihat memeknya yang membusung. Roni terpana sesaat. Seperti yang selama ini ia bayangkan, memek Bu Halimah benar-benar besar dan tembem. Ia tak menyangka bisa mendapat kesempatan untuk melihat dan menyentuh vagina yang oleh pemiliknya telah dipangkas habis bulu-bulunya itu. Peris di bagian pusar dan bawah perut wanita yang sudah tidak rata lagi itu, sudah banyak lipatan dan kerut-kerut di permukaan kulitnya. Sedangkan di bagian bawahnya lagi, yang merupakan bagian atas dari memek Bu Halimah terlihat membentuk semacam gundukan daging dengan permukaan yang lebar dan tebal. Sebenarnya Roni ingin meminta Bu Halimah membuka dan merenggangkan kakinya yang yang berdiri merapat agar pahanya terbuka hingga ia bisa melihat seluruh bagian memeknya Karena dalam posisi berdiri merapatkan kaki, memek teman ibunya tidak terlihat sampai keseluruhan lubangnya. Seperti balita baru mendapatkan mainan baru yang menarik hatinya, Roni mulai mengusap-usap gundukan daging yang terasa hangat di telapak tangannya. Roni agak grogi saat mengusapi vagina Bu Halimah. Usapannya perlahan karena ia baru pertama kali menyentuh bagian paling merangsang pada tubuh wanita tersebut hingga Bu Halimah mengira Roni kurang menyukainya.
"Bude kan udah tua Ron, jadi memeknya udah agak peyot. Pasti jauh merangsang di banding punya pacar Roni ya?"
"Eng... enggak Bude. Sungguh punya Bude merangsang banget. Saya sangat suka. Saya belum punya pacar dan baru kali ini menyentuh yang seperti ini Bude," ujar Roni.
"Masa? Kalau melihat?" Kata Bu Halimah
"Kalau di film BF sering. Ju.. juga saya pernah mengintip dan melihat memek Bude. Waktu itu Bude mandi numpang mandi di rumah. Saya seneng banget sekarang bisa melihat dan memegang langsung," Bu Halimah senang sekaligus bangga mendengar jawaban jujur Roni. Ia tak menyangka anak teman baiknya selama ini menjadi pengagum dirinya secara diam-diam. Ia yang tadinya ragu dan malu untuk memperlihatkan seluruh bagian memeknya dengan merapatkan kakinya karena takut mendapat penolakan dari Roni menjadi percaya diri. Direnggangkan dan lalu diangkatnya kaki kanannya serta ditumpukannya pada pinggiran bale kayu yang ada di dekatnya hingga terpampanglah seluruh bagian memeknya di hadapan pemuda itu.
Roni kian terperangah. Lekat-lekat ditatapinya memek Bu Halimah. Di bagian tengah yang menggunduk ada celah memanjang dengan bagian daging yang menebal di bagian bibir luar memek Bu Halimah. Warnanya coklat hitaman, berkerut-kerut dan mengeras seperti bagian daging yang sudah kapalan. Kontras dengan warna daging merah muda di bagian dalam yang terlihat agak basah. Di bagian atas mendekati ujung celah lubang memek itu, sebentuk tonjolan daging sebesar biji jagung tampak mencuat. Mungkin ini yang dinamakan itil, pikir Roni membatin dan itu kian membuatnya terangsang. Rupanya bagian itu kelewat menarik untuk dilewatkan hingga Roni tergerak untuk menyentuhnya. Diawali dengan mengusap-usap bibir luar memek Bu Halimah yang berkerut dan terasa kasar, ujung jari Roni mulai menelusup masuk ke celahnya lalu menyentuh dan menggesek-gesek tonjolan daging mungil itu.
Mendapat rangsangan di bagian paling peka pada kelaminnya, Bu Halimah yang sudah cukup lama tidak dientot Pak Nardi suaminya, tubuhnya menjadi tergetar hebat. Terlebih ketika itilnya mulai dipermainkan Roni dengan intensitas sentuhan yang makin kerap.
"Ooouuww.. sshh... sshhh
..ahhh..ahh.. ahh...ssshh. Itil Bude kamu apakan Ron? Ahhh... ssshhhh....ssshhhh....akkhhhhh... enak.. banget Ron," lenguh Bu Halimah mendesah.
Namun yang membuat Bu Halimah makin menggelinjang seperti cacing kepanasan serta berkali-kali memekik tertahan menahan nikmat yang tertahankan adalah tatkala dirasakan bibir memeknya serasa dilumat. Karena sangat terangsang, Roni memang akhirnya melumat bibir luar kemaluan Bu Halimah dengan mulutnya. Ia sebenarnya hanya meniru adegan yang sering ditontonnya dalam adegan film mesum. Tetapi ternyata, ulahnya itu membuat Bu Halimah kelojotan menahan nikmat. Bahkan ketika Roni mengecupi dan menghisapi itilnya, erangan dan rintihan Bu Halimah semakin kencang. Roni jadi semakin bersemangat. Lidahnya tak hanya disapu-sapukan tetapi dijulur-julurkan masuk ke kedalaman lubang nikmat Bu Halimah yang mulai terasa asin karena banyaknya cairan pelicin yang keluar.
Merasa pertahanannya hampir jebol dan didorong keinginannya untuk segera merasakan batang ****** Roni yang berukuran ekstra besar dan panjang, Bu Halimah meminta Roni menghentikan aksi obok-obok memek dan itil dengan mulut dan lidahnya.
"Sshh.. sshh.. aahhh.. ahhh... ahhh. Udah Ron, Bude nggak tahan." kata Bu Halimah sambil menarik kepala Roni menjauh dari selangkangannya.
Lalu diajaknya Roni ke bale kayu tempat para penjaga hutan melepas lelah. Di bale kayu itu, Bu Halimah langsung merebahkan tubuh telentang dan membuka lebar pahanya. Roni tahu tugas yang menunggunya kini adalah menyogok lubang memek teman ibunya yang memang sudah lama ingin dinikmatinya. Seeperti tak sabar Bu Halimah langsung menggenggam ****** Roni ketika pemuda itu telah berada di atas tubuhnya. Ujung penis Roni yang membonggol besar di arahkannya tepat di tengah lubang memeknya.
"Masukkan Ron.. ahhh ..ahhh Bude udah kepengen merasakan kontolmu,"
"Sa... saya juga Bude. Roni sudah lama pengen ngentot dengan Bude. Roni suka memek Bude,"
"I.ii. iya Ron, cepat tekan dan masukan kontolmu," ujar Bu Halimah.
Akhirnya, Roni menurunkan pinggulnya. Ujung penisnya menyentuh bibir luar memek Bu Halimah yang sudah menunggu untuk disogok. Tetapi karena kepala ****** Roni kelewat membonggol dan berukuran cukup besar, tak mudah untuk masuk meskipun memek Bu Halimah tergolong sudah oblong.
"Kayaknya ****** kamu gede banget Ron. Jauh lebih gede dibanding punya Pak Nardi jadi agak sulit masuknya,"
"Te... terus gimana Bude?," Kata Roni bingung.
Namun Bu Halimah tidak kehilangan akal. Dikeluarkannya ludah dari mulutnya dan ditampungnya di telapak tangannya. Lalu, ludah itu dibalur-balurkannya di ujung ****** Roni agar bisa menjadi semacam pelumas.
"Udah Ron, masukkan lagi kontolmu tapi pelan-pelan ya,"
"Ii... iya Bude,"
Karena terburu-buru dan sama sekali belum pernah melakukannya, ujung rudal Roni sempat meleset. Kepala penis pemuda itu terantuk di bagian atas lubang memek Bu Halimah dan hanya mengenai itilnya hingga wanita itu memekik. Baru setelah dipandu tangan Bu Halimah, sedikit demi sedikit ujung ****** Roni mulai masuk dan akhirnya bleesss! ****** Roni berhasil masuk sepenuhnya ke lubang nikmat itu setelah ia sedikit menyentaknya dan membuat Bu Halimah kembali memekik.
"Sa... sakit Bude?"
"Eee .. enggak Ron. Bude cuma kaget. ****** kamu gede banget,"
Sudah sangat sering Roni membayangkan nikmatnya bersetubuh dengan Bu Halimah sambil mengocok-ngocok sendiri kontolnya. Tetapi ternyata, jauh lebih nikmat ngentot langsung dengan wanita itu. Batang kontolnya yang telah membenam di lubang kenikmatan teman ibunya itu, terasa hangat dan nikmat dijepit dinding-dinding vagina Bu Halimah. Disogok ****** pemuda berukuran besar, wanita yang sudah lama tidak menikmati permainan ranjang sejak suaminya menikah lagi itu mengulum senyum. Senyum yang membuat wajah tuanya kembali kelihatan cantik dan membuat Roni tergerak untuk melumat bibirnya. Ciuman itu langsung disambut Bu Halimah dengan lebih panas. Lidah Roni yang terjulur langsung dihisapnya hingga bukan hanya kemaluan keduanya yang beradu di bagian bawah tetapi mereka juga saling hisap dengan kedua mulutnya.
Hari semakin gelap dan hujan yang mengguyur kawasan hutan jati kian menderas diseling bunyi guruh yang sesekali menggelegar. Namun cuaca buruk yang tengah berlangsung tak mempengaruhi panasnya gairah yang tengah disalurkan pasangan itu. Desahan dan erangan nikmat yang keluar dari mulut pasangan itu seolah ingin mengalahkan bunyi halilintar yang menggelegar. Bu Halimah benar-benar dibuat melayang dan dihantarkan pada kenikmatan yang belum pernah dirasakan sebelumnya setelah Roni menaik-turunkan pinggulnya dan memaju-mundurkan batang kontolnya di lubang memeknya. Apalagi Roni juga sesekali menyelingnya dengan meremasi susunya yang besar. Bahkan tidak jarang Roni juga memilintir dan memijit puting teteknya yang membuatnya merintih menahan nikmat.
"Terus Ron... sshhh..... ssshhh.... aahh.... aahhh... enak banget entotanmu Ron. Ssshhhh... sshhhhh.... Bude nggak pernah merasakan seenak ini bila dengan Pak Nardi. Aaahhh..... aaauuwww.... sshhhh... sshhhhh,"
Dulu, semasa Pak Nardi belum kena pelet dan akhirnya mengawini seorang janda, sikap Bu Halimah dalam melayani suaminya sebenarnya tergolong biasa-biasa saja. Apalagi Pak Nardi tergolong kurang potensinya dalam urusan ranjang. Hingga ia merasa tidak perlu menservisnya dan dalam melayani sekadar asal suami bisa muncrat saja air maninya. Namun menghadapi Roni dengan tenaga muda serta kekerasan batang kontolnya yang mampu membuatnya merintih nikmat, Bu Halimah merasa harus memberikan respon yang sepadan. Maka sambil menggoyang pinggul dan memutar-mutarkan pantat besarnya, otot-otot bagian dalam memeknya juga ikut dikejut-kejutkan hingga mampu mencengkeram kuat batang ****** pemuda itu. Apa yang dilakukan Bu Halimah membuat batang ****** Roni serasa dihisap hingga memberi kenikmatan tiada tara. Permainan panas keduanya mendekati puncaknya setelah irama goyangan dan hunjaman yang berlangsung dalam gelap mulai tidak teratur. Roni mulai menancapkan batang kontolnya di lubang memek Bu Halimah dengan sentakan-sentakan. Sementara Bu Halimah sesekali mulai mengangka tinggi-tinggi pantatnya.
"Sshhh... ookkkhhh.... oookkkk.. enak banget... enak banget. Ahhhh.... ahhh... ssshhh terus Ron... enak banget. Akhhh.... bude hampir keluar.. Ron... ohhhkkhhhh,"
"Roni juga Bude... aahhhh..... aahhhkk.... terus hisap Bude. Akhhhh.... ya.... terusshhhh.... akkhhh memek Bude anak banget," Akhirnya, diawali dengan tubuh mengejang Bu Halimah akhirnya menggelepar menikmati orgasme yang didapatnya. Ditandai dengan semburan hangat dari setiap sudut di lubang vaginanya membasahi batang ****** Roni. Seperti halnya Bu Halimah, di saat yang hampir bersamaan Roni juga merasa tak mampu lagi membendung apa yang ingin dimuntahkannya. Setelah mengerang menahan nikmat tiada tara yang didapatnya, Roni akhirnya ambruk di tubuh montok wanita itu. Tak kalah banyak, air mani Roni juga menyembur bak lahar panas. Membanjir berbaur dengan cairan yang keluar dari lubang memek wanita teman dekat ibunya. Keduanya baru menyadari bahwa hari telah beranjak malam setelah beberapa saat melepas lelah dari permainan nikmat yang baru dilakukan. Dalam gelap dan hanya diterangi sinar dari nyala api di tungku perapian yang ada di tempat berteduh penjaga hutan itu, Roni segera mengumpulkan pakaiannya untuk dikenakan. Begitu juga Bu Halimah. Setelah semua pakaian dikenakan, Roni langsung menstater motornya dan melesat menembus kegelapan hutan jati. Hanya, sepanjang perjalanan pulang keduanya terdiam membisu.
Suasana kaku itu baru cair setelah Roni menghentikan motornya karena berniat membeli rokok di sebuah kios di sebuah kampung.
"Nih pakai uang Bude saja Ron," kata Bu Halimah menyodorkan lembaran seratus ribu rupiah.
Roni membeli sebungkus rokok dan dua botol air mineral yang langsung ditenggaknya. Botol air mineral yang lain disodorkannya kepada bu Halimah sambil menyerahkan uang kembalian. Namun Bu Halimah hanya mau menerima air mineralnya saja yang juga langsung dibuka dan diminumnya.
"Kembaliannya kamu kantongi saja untuk beli bensin," ujarnya.
Setelah kembali berada di atas sepeda motor, Bu Halimah kembali membuka percakapan.
"Kok Roni diam saja sih. Nyesel ya melakukan itu dengan orang setua Bude?"
"Ih enggak Bude. Sungguh. Roni diam karena takut Bude marah. Sungguh Roni sangat senang berkesempatan berdua dengan Bude seperti tadi," kata Roni.
Bu Halimah yang sempat canggung, kini kembali merapatkan posisi duduknya dalam membonceng dan tangannya memeluk tubuh Roni dari belakang. Sikap mesra keduanya mirip sepasang kekasih yang tengah menikmati masa-masa indah berpacaran karena angan mereka melambung pada bayang-bayang kenikmatan yang baru direguknya
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar