Pada waktu KKN di suatu daerah
terpencil di Jawa Tengah (Di suatu desa kecil yang belum terjangkau
angkutan dari arah kota, bahkan untuk mencapai jalan raya yang dilalui
mobil angkutan, harus berjalan kaki selama 2 jam), kukira warganya masih
terbelakang dan kurang pergaulan. Maklum di salah satu dusun, yang
dihuni sekitar 100 keluarga, hanya satu yang mempunyai TV dengan
menggunakan aki. Tetapi kenyataannya lain. Inilah pengalamanku hidup
ditengah-tengah penduduk tersebut, tentu saja pengalamanku di bidang
seks.
Aku kebetulan menginap di
rumah Sekdes, yang ternyata seorang ibu muda berumur aku taksir kurang
dari 40 tahun. Langsing, kulitnya mulus dan rupawan. Memang lain
dibandingkan dengan penduduk kebanyakan di sekitarnya. Dan yang
menjadikan aku sangat bernafsu adalah karena statusnya yang janda
beranak satu.
Disuatu sore,
menjelang malam, ketika baru datang dari kampus untuk konsultasi
skripsi, kudapati rumah Mbak Yati (begitulah panggilan Sekretaris Desa
yang rumahnya kutempati itu) tampaknya sepi. Badanku basah kuyup, karena
kehujanan sepanjang perjalanan kaki dari jalan raya. Aku dorong
pintunya dan ternyata tidak terkunci. Aku segera menuju ke kamarku,
kulepas semua pakaianku dan kukeringkan dengan handuk. Tiba-tiba ada
suatu langkah mendekati kamarku, kuintip dari balik korden, Mbak Yati
mendekat ke kamarku. “Ini kesempatan,” pikirku.
Aku
terus mengeringkan kepalaku dengan handuk sehingga mataku tertutup dan
pura-pura tidak tahu kalau Mbak Yati mendatangi kamarku. Tanpa kusengaja
kemaluanku jadi bertambah besar. Tergantung kesana-kemari ketika
tubuhku tergoncang karena gosokan yang keras di kepalaku.
Benar
saja Mbak Yati menyingkapkan korden, namun aku pura-pura tidak
melihatnya, walaupun dari pori-pori handuk aku melihat Mbak Yati dengan
raut wajahnya agak terkejut, tetapi dia diam saja. Bahkan sepertinya
dengan seksama memperhatikan alat vitalku yang makin lama makin besar
oleh tatapan Mbak Yati. Aku pura-pura terkejut ketika kulepas handukku
dari kepalaku. “Oh, Mbak Yati, kirain siapa,” Aku sengaja membiarkan
kemaluanku tidak kututupi, ada perasaan bangga mempertontonkan
kemaluanku disaat sedang gagah-gagahnya.
“Dik Windu, datang kok nggak bilang-bilang,” bicaranya cukup tenang, seakan-akan tidak melihatku aneh.
“Iya Mbak, baru datang terus kehujanan.”
“Aduh, nanti masuk angin, aku ambilkan minyak angin ya.”
“Nggak usah Mbak, takut panas.”
“Lha iya biar anget gitu lho.”
“Maksud saya, taku panas kalau kena ini, lho Mbak.”
“Ah Dik Windu bisa aja, mikiran apa sih kok ngacung-ngacung kayak gitu,” kali ini Mbak Yati mau melihat terpedoku, aku bahagia sekali.
“Ih, gede banget sih Dik.”
“Pernah aku ukur 17 cm kok Mbak,” Aku berjalan mendekatinya.
“Dik Windu bisa aja, pake diukur-ukur segala,” kupegang pundaknya, dan dia diam saja.
“Kok sepi Mbak, kemana anak-anak lain.”
“Anu.. khan, lagi bertemu Bapak Bupati,” tampaknya ia agak gugup dan seperti mau melangkah ke belakang. Tetapi kutahan dia, bahkan ketika kucium pipinya ia diam saja. Kulanjutkan dengan bibirnya, ia juga diam saja. Bahkan memberikan sambutan yang hangat.
“Iya Mbak, baru datang terus kehujanan.”
“Aduh, nanti masuk angin, aku ambilkan minyak angin ya.”
“Nggak usah Mbak, takut panas.”
“Lha iya biar anget gitu lho.”
“Maksud saya, taku panas kalau kena ini, lho Mbak.”
“Ah Dik Windu bisa aja, mikiran apa sih kok ngacung-ngacung kayak gitu,” kali ini Mbak Yati mau melihat terpedoku, aku bahagia sekali.
“Ih, gede banget sih Dik.”
“Pernah aku ukur 17 cm kok Mbak,” Aku berjalan mendekatinya.
“Dik Windu bisa aja, pake diukur-ukur segala,” kupegang pundaknya, dan dia diam saja.
“Kok sepi Mbak, kemana anak-anak lain.”
“Anu.. khan, lagi bertemu Bapak Bupati,” tampaknya ia agak gugup dan seperti mau melangkah ke belakang. Tetapi kutahan dia, bahkan ketika kucium pipinya ia diam saja. Kulanjutkan dengan bibirnya, ia juga diam saja. Bahkan memberikan sambutan yang hangat.
Kini
Mbak Yati yang aktif menciumi tubuhku dengan gemasnya, aku diam saja,
dan kulucuti pakaiannya. Ketika kubuka BH-nya, aku tertegun, payudaranya
masih kencang dan mulus, ukurannya sedang. Perutnya ramping, cembung di
bawah, sedikit di atas jembutnya. Mbak Yati terus menyerangku dengan
kecupan-kecupan yang membuatku kelabakan dan jatuh ke tempat tidur
karena terdorong oleh kuatnya desakan Mbak Yati yang sudah telanjang
bulat itu. Aku hanya bisa memegang payudaranya sambil memijat, mengelus
dan memelintir putingnya.
Mbak
Yati terus mengecup setiap inci dari tubuhku, dadaku, lenganku, perutku
dan pahaku. Kejantananku yang sudah sangat keras dipegangnya terus
seakan sudah menjadi hak miliknya saja. Dikecupnya ujung kemaluanku, aku
mengelinjang kegelian. Namun Mbak Yati tidak meneruskan. Sambil
tersenyum manis ia berkata, setengah berbisik, “Nanti saja..” Sambil
memeluk dan menciumku dengan hangat dan membalikkan posisinya sehingga
aku berada di atasnya. Kini posisiku lebih leluasa, aku bisa pandangi
kemolekan tubuh Mbak Yati, setiap senti dari permukaan tubuh itu kuciumi
dengan penuh nafsu. Nafas Mbak Yati makin memburu, lama kutempelkan
pipiku pada perutnya. Perasaan senang luar biasa menyelimutiku. Sambil
tanganku terus meremas-remas payudaranya. Kuturunkan kepalaku ke bawah,
kuciumi paha sebelah dalam Mbak Yati, hingga sampailah ke jaringan lunak
yang berada di tengah selangkangannya. Kujilati benda itu, hingga Mbak
Yati menjerit kecil sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi,
seakan-akan menginginkan aku menjilatinya. Liang kewanitaan Mbak Yati
sudah sangat basah, aku terus menjilati daging kecil yang ada di bagian
atas kemaluannya, yang menurutnya bernama “itil” ya mungkin bahasa
kerennya ya “klitoris” itu.
Setelah
jenuh aku menjilati liang kewanitaannya, aku bersiap-siap mengarahkan
batang kejantananku ke liang senggamanya, Dengan cekatan ia bimbing
batang kejantananku hingga di depan gerbang kewanitaannya. Dengan sekali
sentak masuklah kepala burungku. Tampak masih lumayan seret, sehingga
tidak semuanya langsung bisa menghujam ke dalam liang kewanitaannya.
Setelah beberapa kali maju mundur barulah semuanya tenggelam hingga
kurasakan ujung kemaluanku menyentuh dinding kewanitaannya yang paling
dalam. Mbak Yati melenguh, menjerit dan makin memelukku dengan kuat.
“Terus Dik.. terus Dik.. Tahan Dik, aku.. mau.. keluar, Ohhh…” Dia
memelukku dengan kuat sambil meluruskan kakinya, hingga batang
kejantananku terasa terjepit. Dengan nikmatnya. Hingga akupun tidak
tahan lagi membendung air maniku bertahan. Aku segera mencabut
kejantananku dan kukocok-kocok hingga muncratlah air maniku di atas
perutnya.
Beberapa detik kemudian
heninglah suasana di kamar itu. Tampaknya hari sudah mulai malam, hujan
terus turun dengan derasnya. Namun nafas Mbak Yati yang memburu dan
tubuhnya terbaring dengan lunglai. Aku terlentang di sampingnya. Dia
segera tertidur dengan kepala di atas perutku, menghadap ke kemaluanku.
Akupun tampaknya terlena juga. Pada waktu Mbak Yati membangunkanku,
untuk makan malam. Aku memakai piyamaku dan menuju ke ruang makan, Mbak
Yati mengenakan daster yang tipis. Ketika kurogoh dari bawah dasternya,
ternyata ia tidak memakai celana dalam. Mbak Yati mengelak dengan genit
meskipun sempat tersentuh juga.
Dalam
percakapan selama makan malam, baru kutahu bahwa dia mempunyai anak
perempuan yang sedang sekolah di Sekolah Pekerja Sosial di Semarang.
Setiap minggu ia pulang ke rumah. Nani, anak Mbak Yati, memang manis dan
supel. Pada suatu hari minggu ia memang datang dan aku sempat ngobrol
dengan Nani. Waktu itu ibunya sedang ada tugas mendampingi Pak Kades
menerima kunjungan anggota DPRD. Saking akrabnya aku ngobrol dengan
Nani, hingga tidak canggung-canggung lagi ia masuk keluar kamarku maupun
sebaliknya. Bahkan ketika Nani memintaku untuk membuat salah satu tugas
teks pidato, aku tanpa sungkan-sungkan masuk ke kamarnya. Secara tidak
sengaja aku menemukan amplop kecil di atas meja belajarnya. Ketika
kubuka ternyata gambarnya adalah gambar porno kategori XXX. Nani cuek
saja ketika kuamati gambar-gambar tersebut. Tidak terasa bagian bawahku
mulai berontak.
Tiba-tiba Nani
membungkukkan badan di depanku, sambil ikut melihat gambar-gambar porno
tersebut. “Nani, nggak pakai BH lho..” Aku kaget bukan kepalang,
mendengar suara manja itu, dan kulihat wajahnya sudah sangat dekat
dengan wajahku. Dan yang lebih dahsyat lagi adalah, dengan posisi
menduduk itu maka payudaranya yang bebas tidak terbungkus BH itu
tergantung indah.
Aku segera
meraihnya, sambil kucium bibirnya. Sebagai tindakan naluri dan refleks
priaku saja. Nani membalasnya dengan tidak mau kalah lahapnya. Kubuka
T-shirtnya, dan kuciumi putingnya yang kecil tetapi panjang, seperti
puting ibunya. Dan kulepas semua pakaiannya, terakhir adalah celana
dalamnya. Kuraih kemaluannya, jembutnya masih jarang, sehingga belahan
liang kewanitaannya yang berwarna merah jambu dapat terlihat dengan
jelas. Ia susupkan tangannya ke dalam celana pendekku. Begitu menemukan
batang pelerku yang sudah sangat tegang ia lemas dan menarikku ke tempat
tidurnya.
Aku melepaskan
pakaianku, hingga telanjang bulat. Aku baringkan di tempat tidurku,
dengan posisi telentang, memberikan kesempatan bagi Nani untuk menikmati
bagian tubuhku yang sangat kubanggakan itu. Benar saja, ia dengan sigap
meraih kemaluanku dan mengulumnya, meskipun masih sangat tidak
profesional, tetapi kuhargai juga keberaniannya. Barangkali ia hanya
ingin mempraktekkan apa yang pernah ia lihat pada foto porno. “Jangan
kena kena gigi,” seruku ketika giginya menggesek ujung kemaluanku, yang
membuatku nyengir. “Eh sorry, Mas..” Lalu ia jilati seluruh permukaan
batang kejantananku, hingga kedua pelerku tidak luput dari serangan ini.
Aku hanya meringis menikmatinya.
Setelah
tidak ada lagi variasi darinya memperlakukan kemaluanku, kubimbing dia
untuk terlentang. Ia menurut ketika kubuka pelan-pelan pahanya, kini
dengan jelas liang kewanitaan yang manis bentuknya itu. Ketika
kusibakkan, kulihat warna merah menantang, sedangkan lendirnya sudah
banyak mengalir ke sprei batiknya. Posisiku sudah siap untuk
menyetubuhinya. Batang kemaluanku sudah tepat di depan mulut liang
kewanitaannya.
“Nan, masih perawan nggak, aku masukin ya?” pintaku.
Nani tidak menjawab namun dengan kuat ia menarik bokongku, hingga amblaslah batang kejantananku memasuki wilayah terlarangnya. Memang baru separuh, sempit sekali, aku hampir tidak tega ketika Nani meringis sambil memejamkan matanya.
“Kenapa Nan, Mas cabut ya..”
“Jangan,” bisik Nani sambil menjepit punggungku dengan kedua kakinya.
Nani tidak menjawab namun dengan kuat ia menarik bokongku, hingga amblaslah batang kejantananku memasuki wilayah terlarangnya. Memang baru separuh, sempit sekali, aku hampir tidak tega ketika Nani meringis sambil memejamkan matanya.
“Kenapa Nan, Mas cabut ya..”
“Jangan,” bisik Nani sambil menjepit punggungku dengan kedua kakinya.
Kugerakkan
maju mundur pelan-pelan, karena sempitnya liang kewanitaannya. Membuat
Nani mengeleng-gelengkan kepalanya kekiri dan kekanan hingga sebuah
jeritan panjang. Namun segera kuciumi mulutnya agar jeritan itu tidak
terdengar tetangga.
Orgasme Nani
lama sekali, seperti orang kesurupan, kepalanya kupegangi kuat-kuat agar
mulutnya tidak lepas dari ciumanku. Sehingga suara jeritan itu tertelan
sendiri. Badannya kejang, pelukannya kencang sekali.
Akhirnya
tumpahlah kenikmatan Nani. Aku sangat gembira bisa memuaskannya.
Biarpun maniku belum keluar, aku puas sekali. Nani tertidur, aku segera
berpakaian, dan dengan berjingkat ke arah kamarku dekat kamar Mbak Yati.
Di depan kamar Mbak Yati kudengar suara, saat kusingkap dan aku
terkejut ternyatan ada Mbak Yati. Aku ketakutan dan hampir tidak bisa
bicara. Dengan suara seadanya aku mendesis, “Oh, Mbak kok sudah pulang.”
Tidak kusangka Mbak Yati tersenyum manis, mendekatiku dan mencium
bibirku. “Jangan buat anakku hamil, ya.”
“Jadi, Mbak tahu kalau akau habis begituan sama Nani?”
“He eh, anak sekarang memang lain dengan jaman saya dulu, baru kenal sudah tidur bareng.”
Aku hampir tidak percaya ini, kemaluanku masih belum lemas, karena memang belum keluar. Mbak Yati tahu itu. Ia lepaskan celanaku dan segera dihisap-hisapnya kejantananku dengan lihainya hingga keluarlah maniku ke dalam mulutnya. Mbak Yati tersedak, dan segera menuju dapur meminum air kendi. Aku hanya bengong saja. Lama tidak bergerak dari tempatku berdiri. Kemaluanku tergantung dengan santainya.
“Jadi, Mbak tahu kalau akau habis begituan sama Nani?”
“He eh, anak sekarang memang lain dengan jaman saya dulu, baru kenal sudah tidur bareng.”
Aku hampir tidak percaya ini, kemaluanku masih belum lemas, karena memang belum keluar. Mbak Yati tahu itu. Ia lepaskan celanaku dan segera dihisap-hisapnya kejantananku dengan lihainya hingga keluarlah maniku ke dalam mulutnya. Mbak Yati tersedak, dan segera menuju dapur meminum air kendi. Aku hanya bengong saja. Lama tidak bergerak dari tempatku berdiri. Kemaluanku tergantung dengan santainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar